JAKARTA, HUMAS MKRI – Ahmad Farisi yang berprofesi sebagai peneliti dan pengamat serta A. Fahrur Rozi yang merupakan Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menguji Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 165/PUU-XXII/2024 ini digelar Majelis Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Rabu (4/12/2024).
Di hadapan para hakim konstitusi di Ruang Sidang Panel MK secara daring, Fahrur mengungkapkan Pasal 23 ayat (2) UU P3 yang menyatakan “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan berdasarkan norma tersebut bahwa Pemohon I merupakan perorangan warga negara Indonesia yang aktif dan fokus melakukan kajian dan penelitian terhadap isu-isu ketatanegaraan, demokrasi, dan kepemiluan. Pemohon I merasa bertanggung jawab dan memiliki kepentingan secara khusus terhadap pengetahuan akademik ihwal sistem ketatanegaraan yang berlaku, baik secara epistemik maupun sistemik terhadap keberlakuan suatu norma undang-undang yang membatasi dan membatalkan hak-hak konstitusional warga negara. Sementara Pemohon II merupakan mahasiswa aktif jurusan Hukum Tata Negara yang tergabung dalam sejumlah organisasi kemahasiswaan tingkat nasional, yang berfokus pada isu-isu ketatanegaraan dan aktif melakukan diskusi dan advokasi terhadap keputusan dan kebijakan pemerintah.
Terkait norma ini, para Pemohon tidak dapat mengidentifikasi secara jelas konsep dan konteks penerapan norma dalam sistem dan mekanisme pembentukan undang-undang. Menurut para Pemohon, Pasal 23 ayat (2) UU P3 seolah menjadi pasal mati yang tidak memberikan kejelasan dan kepastian hukum politik hukum pembentukan suatu undang-undang dapat dijalankan. Jika dibaca secara sistematis, sambung Fahrur, pasal a quo memberikan landasan kewenangan bagi DPR/Pemerintah untuk mengajukan rancangan suatu undang-undang di luar prolegnas (program legislasi nasional) dengan klausul ketentuan yang berulang, tumpang tindih, serta tolok ukur yang ambigu.
Dalam pandangan para Pemohon, Pasal 23 ayat (2) huruf b UU 15/2019 yang mengatur tentang pembentukan undang-undang di luar prolegnas dalam keadaan tertentu tersebut tidak memuat ukuran yang jelas dan pasti bagaimana pembentukan undang-undang yang hanya didasarkan pada klausul ‘urgensi nasional’ dan menitik beratkan pada ‘persetujuan’ antara pemerintah dan DPR.
“Dengan demikian, ketidakpastian hukum akibat ketentuan yang berlaku pada pasal tersebut secara nyata dapat dimanfaatkan oleh pembentuk undang-undang untuk memproduksi undang-undang di luar pada daftar prolegnas berdasarkan pada dorongan kepentingan politik tertentu yang bersifat temporal dan musiman,” urai Fahrur.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan arahan bahwa keterkaitan kedudukan hukum dan potensi kerugian konstitusional para Pemohon yang belum konkret. “Apa hubungan sebab akibat dari kerugian konstitusional dan kedudukan hukum sebagai peneliti, pengamat, dan mahasiswa. Apakah dengan dibuatkannya klaster terbaru melalui prolegnas yang memuat daftar RUU yang oleh pembuat undang-undang dibuat dalam 4 – 5 tahun. Lalu prolegnas dibagi lagi menjadi prioritas, di luar prolegnas akan ada prolegnas komulatif terbuka, misalnya ada putusan MK, terkait APBN, dan lainnya. Jika ada kalusula yang dimohonkan justru dari sisi partisipasi masyarakat itu lebih baik? Karena walaupun khusus tetapi masih terbuka untuk adanya partisipasi,” terang Arsul.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan dapat diserahkan kemudian kepada Kepaniteraan selambat-lambatnya pada Selasa, 17 Desember 2024. Untuk selanjutnya Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya bagi para Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina