JAKARTA, HUMAS MKRI – Ahli Bidang Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta W. Riawan Tjandra mengatakan kewenangan Menteri Keuangan (Menkeu) dalam memberikan persetujuan atas rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) untuk kegiatan operasional Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan manifestasi dari fungsi ordonansi Kementerian Keuangan yang mengelola sub bidang kebijakan fiskal secara teknis birokratik. Menurut dia, kata ‘persetujuan” dalam Pasal 7 angka 57 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) tak harus dimaknai mengganggu independensi LPS.
“Terminologi persetujuan tersebut tidak bermakna intervensi eksternal terhadap LPS karena kata ‘menyetujui’ memiliki makna yang luas,” ujar Riawan yang hadir secara daring dalam sidang Perkara Nomor 85/PUU-XXII/2024 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Presiden pada Rabu (4/12/2024) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia melanjutkan, jika mencermati implementasi dari frasa ‘persetujuan Menteri Keuangan’ secara empiris sesungguhnya jauh dari isu konstitusionalitas, tetapi lebih memiliki makna teknis birokratis agar pemerintah cq Menkeu dapat memastikan kecukupan anggaran bagi kegiatan operasional LPS sebagaimana diatur Pasal 86 ayat (2) huruf a, Pasal 86 ayat (6), dan Pasal 86 ayat (7) huruf a UU P2SK. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut tetap konsisten mengatur secara eksplisit independensi LPS karena persetujuan Menkeu hanya sebatas mengenai RKAT untuk kegiatan operasional dan Pasal 86 UU P2SK tersebut dikunci dengan norma yang tetap menunjukkan karakter independensi LPS agar ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan RKAT diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
Riawan juga mengatakan upaya untuk mereduksi independensi LPS melalui norma pengaturan ‘persetujuan Menteri Keuangan’ terhadap RKAT LPS tidak pernah ada. Mekanisme persetujuan dari Menkeu hanya difokuskan pada RKAT untuk kegiatan operasional bukan terhadap kebijakan penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi bank, dan likuidasi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah.
“Implementasi pada ranah empiris juga dilaksanakan secara hati-hati dengan membuat Nota Kesepahaman antara Kementerian Keuangan dengan LPS tentang Tata Cara Reviu Atas Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan untuk Kegiatan Operasional dan Anggaran Belanja Modal LPS,” tutur Riawan.
Penempatan Dana LPS
Keterangan DPR RI yang disampaikan Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Martin D Tumbelaka mengatakan dalil para Pemohon mengenai kerugian konstitusional sebagai nasabah dari bank di Indonesia apabila syarat yang lebih rendah bagi bank untuk dapat mengakses fasilitas penempatan dana dari LPS akan turut meningkatkan risiko yang harus ditanggung LPS dan berdampak pada kemampuan penjaminan LPS terhadap dana nasabah yang menjadi salah satu kewenangan LPS adalah tidak berdasar. Melalui UU 4/2023, kewenangan LPS terkait penempatan dana pada bank menjadi bersifat permanen yang dapat dilakukan kapanpun manakala diperlukan. Kewenangan tersebut diberikan kepada LPS agar memiliki berbagai macam opsi untuk dapat menangani bank sebelum kondisi bank menjadi lebih buruk.
Martin menjelaskan penempatan dana oleh LPS tidak dapat dianggap sebagai pelaksanaan fungsi Bank Indonesia (BI) sebagai lender of resort karena tujuan dan sifatnya berbeda. LPS melakukan penempatan dana sebagai langkah untuk memperkuat permodalan dan stabilitas bank yang merupakan pelaksanaan fungsi risk minimizer dan early intervention.
“Penempatan dana oleh LPS bukanlah merupakan langkah pengganti atau terakhir yang diterapkan jika bank tidak memperoleh pinjaman likuiditas dari BI,” tutur Martin.
Baca juga:
Dosen dan Mahasiswa Persoalkan Intervensi Politik Kepada LPS
Sidang Pengujian UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Ditunda
Pemerintah Jamin Independensi LPS Meski Ada Persetujuan Menkeu
BI dan OJK Belum Siap, Sidang Uji UU P2SK Ditunda
Bank Indonesia Jelaskan Perbedaan PLJP dengan Penempatan Dana LPS
Ahli Pemohon: Ketentuan Persetujuan Menkeu atas RKAT LPS Bentuk Campur Tangan
Sebagai informasi, dua orang dosen dan satu mahasiswa mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua dosen dimaksud yaitu Giri Ahmad Taufik (Pemohon I) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Djuanda, Bogor dan Wicaksana Dramanda (Pemohon II) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Bandung. Selain itu, mahasiswa yang menjadi Pemohon perkara ini bernama Mario Angkawidjaja (Pemohon III) yang juga menjadi nasabah Bank Perkreditan Rakyat Nusantara Bona Pasogit (NBP) 31 Jatinangor.
Para Pemohon mengaku memiliki potensi kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 6, Pasal 276 angka 13 UU P2SK. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 angka 6 yang memberikan wewenang bagi LPS untuk dapat melakukan penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari OJK berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlap) kewenangan dengan BI sebagai lender of last resort.
Apalagi kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda yang lebih mudah, dalam hal ini tidak memenuhi Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan prinsip Syariah yang dipunyai BI. Akibat ketidakjelasan dan tumpang tindih ini, maka timbul potensi membebani LPS, dalam hal ini menurunkan kemampuan LPS dan mengarah pada gagalnya LPS untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjamin simpanan nasabah yang merupakan bentuk perlindungan terhadap simpanan para Pemohon.
Selain itu, menurut para Pemohon intervensi pemerintah dalam bentuk persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS dalam pasal a quo menimbulkan keraguan yang sah pada sisi nasabah mengenai kepastian hukum bahwa LPS akan melaksanakan kewenangannya secara profesional dan berdasarkan expertise semata, tanpa campur tangan politik. Meskipun independensi memiliki batas akuntabilitas, tetapi kewenangan persetujuan Menteri Keuangan pada ketentuan a quo tidak memiliki dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing).
Dari sisi kebutuhan dan keseimbangan, ketentuan yang sangat intervensionis pada perencanaan kerja dan keuangan untuk kegiatan operasional LPS tidak memiliki alasan yang kuat, menimbang desain kelembagaan LPS yang dipimpin secara kolektif kolegial oleh seluruh anggota Dewan Komisioner, di mana seluruh keputusan LPS harus 33/48 diambil melalui proses musyawarah untuk mufakat (vide Pasal 7 angka 46 UU P2SK yang mengubah Pasal 72 ayat (1) UU No. 24/2004).
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 57 UU P2SK yang mengubah Pasal 86 ayat (4) sepanjang frasa “untuk mendapat persetujuan”, Pasal 86 ayat (6), dan Pasal 86 ayat (7) huruf a sepanjang frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” pada UU 24/2004 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 6 dan Pasal 276 angka 13 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.