JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (3/12/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan Perkara Nomor 66/PUU-XXII/2024 ini diajukan Pranoto dan Dwi Agung.
Agenda persidangan yakni mendengar keterangan Ahli yang dihadirkan MK, Andi Achdian, sejarawan dengan fokus pada sejarah kolonialisme dan pergerakan antikolonial di Indonesia. Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Andi memaparkan bahwa proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa monumental yang menegaskan identitas bangsa.
Menurut Andi, proklamasi tersebut bukan hanya deklarasi kemerdekaan, tetapi juga simbol pembentukan identitas bangsa Indonesia yang mendahului berdirinya negara. Kalimat pembuka Proklamasi, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”, mengandung konsep mendalam tentang kesadaran kolektif sebagai bangsa.
Ia menjelaskan bahwa gagasan “bangsa” dalam proklamasi ini mencerminkan konsep “komunitas politik yang terbayangkan”, sebagaimana dikemukakan Benedict Anderson. Proklamasi menegaskan bahwa Indonesia adalah entitas yang lahir dari pengalaman kolektif penjajahan, dengan Sumpah Pemuda 1928 sebagai tonggak awal kesadaran kebangsaan.
Andi menjelaskan bahwa salah satu poin penting yang membedakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari banyak negara lain adalah kesadaran bangsa yang mendahului pembentukan negara. Dalam teks proklamasi, Soekarno dan Hatta secara tegas menggunakan frasa “kami bangsa Indonesia” sebagai subjek yang memproklamasikan kemerdekaan, bukan “kami negara Indonesia”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah ada sebagai entitas kolektif sebelum terbentuknya negara.
Sebaliknya, seperti yang diungkapkan oleh Wallerstein, dalam banyak kasus di Eropa, pembentukan negara justru mendahului kesadaran bangsa. Misalnya, dalam proses pembentukan negara nasional di Prancis atau Inggris, identitas kebangsaan muncul setelah negara terbentuk. Namun, di Indonesia, proses tersebut berjalan terbalik. Kesadaran sebagai bangsa lahir dari pengalaman kolektif menghadapi kolonialisme, menjadi alat perjuangan, dan akhirnya memuncak dalam pembentukan negara sebagai manifestasi politik dari kesadaran kebangsaan tersebut.
Dikatakan Andi, di era globalisasi, konsep bangsa sering dianggap sebagai sesuatu yang usang atau bahkan menjadi penghambat dalam konteks perdagangan bebas dan mobilitas global. Namun, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa bangsa tetap relevan sebagai alat untuk membangun solidaritas di tengah tantangan global. Dalam hal ini, kalimat pembuka teks proklamasi, “kami bangsa Indonesia” menjadi pengingat bahwa identitas kolektif tidak hanya penting untuk melawan kolonialisme, tetapi juga untuk menghadapi ancaman homogenisasi budaya dan ekonomi di era modern.
Ia pun menegaskan, bangsa sebagai gagasan yang dinamis proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan hanya deklarasi politik, tetapi juga pernyataan ideologis tentang pentingnya kesadaran bangsa sebagai basis pembentukan negara. Konsep bangsa yang diusung dalam proklamasi memberikan landasan yang kokoh bagi upaya nation-building meskipun tetap menghadapi tantangan dalam implementasinya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam telaah ini, gagasan bangsa dalam konteks Indonesia bersifat dinamis. la terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi, tetapi tetap menjadi elemen yang tidak tergantikan dalam membangun solidaritas dan identitas kolektif. Dalam semangat itu, kalimat "kami bangsa Indonesia" tetap menjadi sumber inspirasi yang relevan untuk menghadapi tantangan zaman.
Baca juga:
Pemerhati Sejarah dan Guru Uji UU Keprotokolan
Pemerhati Sejarah Perbaiki Uji UU Keprotokolan
MK Tunda Sidang Uji Materiil UU Keprotokolan karena DPR Tak Hadir dan Pemerintah Belum Siap
Sidang Uji Materi UU Keprotokolan Kembali Ditunda
Pemerintah Jelaskan Makna Frasa “Republik Indonesia” dalam UU Keprotokolan
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU Keprotokolan
Taufiqurrohman Syahuri: Kata “Republik” dalam UU Keprotokolan Ahistoris
Sebagai tambahan informasi, MK pada Senin (22/07/2024) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian materiil Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan Perkara Nomor 66/PUU-XXII/2024 ini diajukan Pranoto, seorang Pemerhati Sejarah Indonesia, dan Dwi Agung, seorang Guru.
Para Pemohon merasa dirugikan karena ketidaksesuaian antara frasa dalam UU Keprotokolan dengan fakta yang ada. “UU Keprotokolan menyebutkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan Negara Indonesia. Sedangkan menurut sejarah dan Pemohon bahwa 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan atau hari kelahiran bangsa Indonesia yang mana bilamana ingin menyebut hari kemerdekaan negara Indonesia itu tanggal 18 Agustus 1945. Dari situ maka penyebutan setiap upacara bendera sebagai 17 Agustus hari kemerdekaan Indonesia sangat merugikan para Pemohon,” jelas Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa para Pemohon secara daring.
Para Pemohon juga menegaskan, kesalahan ini juga tercermin dalam Surat Edaran Pemerintah tentang Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Dengan mengubah frasa “kemerdekaan Republik Indonesia” menjadi “kemerdekaan bangsa Indonesia” dalam Pasal 16 Huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan, diharapkan hak dan kewenangan konstitusional Para Pemohon dapat dipenuhi dengan lebih baik, sehingga sistem pendidikan nasional dapat berfungsi dengan semestinya, dan Pemerintah dapat lebih cermat dalam menerbitkan Surat Edaran terkait peringatan hari besar nasional.
Untuk itu, maka dalam petitum permohonan para Pemohon meminta MK menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Menyatakan Pasal 16 Huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan sepanjang frasa “Kemerdekaan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.