JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengacara Hanter Oriko Siregar selaku Pemohon Perkara Nomor 159/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan pengujian materi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut dia, norma pasal tersebut telah menjadi dasar dan menimbulkan persyaratan kerja dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
“Seperti penggunaan bahasa asing sebagai media utama informasi dalam berbagai kegiatan instansi pemerintah maupun instansi swasta dan persyaratan yang mewajibkan penguasaan bahasa asing untuk seluruh pekerja pada instansi negara/pemerintah maupun instansi swasta sebagai persyaratan wajib kerja,” ujar Hanter dalam sidang perbaikan permohonan pada Selasa (2/12/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Hanter menuturkan peserta Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang diharuskan menguasai bahasa asing khususnya bahasa Inggris dengan dibuktikan adanya TOEFL sebagai persyaratan wajib dan juga ketentuan batas usia 27 tahun untuk pengisian jabatan Jaksa Ahli Pertama yang dapat menjadi peserta CPNS Tahun 2024 di instansi Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dia mengatakan pemaknaan Pasal 35 UU ASN telah membuka keran yang seluas-luasnya terhadap instansi pemerintah maupun instansi swasta dalam menetapkan persyaratan dengan sebebas-bebasnya terhadap para pencari kerja. Persyaratan yang ditentukan kemungkinan besar bersifat diskriminasi.
Padahal, kata dia, tindakan dan kebijakan kewajiban melampirkan TOEFL dimaksud sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi yang melarang adanya bentuk diskriminasi. Hanter menyebutkan diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang berlangsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehiudpan individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Selain itu, dia mengatakan persyaratan menguasai bahasa asing merupakan bentuk ketidakharmonisan terhadap bahasa Indonesia yang merupakan jati diri bangsa. Menurutnya mengedepankan penguasaan bahasa asing sebagai persyaratan mutlak untuk memperoleh pekerjaan di negara sendiri dan mengabaikan bahasa Indonesia adalah ketidakhormatan terhadap perjuangan para pemuda yang telah berusaha memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan apapun.
Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi, “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja”. Kemudian Pasal 37 UU ASN berbunyi, “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi Pengawai ASN setelah memenuhi persyaratan”. Pemohon mencoba berusaha mengikuti ujian sertifikat TOEFL sebanyak empat kali, tetapi Pemohon hanya mendapatkan perolehan nilai paling tinggi sebanyak 370.
Pemohon mengatakan pasal-pasal yang diuji tidak memberikan batasan hukum yang jelas serta kaidah hukum yang konkret, menyebabkan ketidakpastian hukum yang menimbulkan banyak persepsi atau tafsir yang dapat membuat pemberi kerja dalam hal ini instansi pemerintah maupun swasta menentukan persyaratan dengan sebebas-bebasnya. Dengan kebebasan yang seluas-luasnya dimiliki tersebut, maka sangat mungkin masing-masing instansi dimaksud menentukan persyaratan yang bersifat diskriminasi yang bertentangan dengan konstitusi UUD Tahun 1945.
Selain itu, Pemohon memperbaiki petitumnya. Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui penempatan tenaga kerja, dilarang mewajibkan penguasaan bahasa asing sebagai persyaratan wajib kerja, dan wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai informasi dan ruanglingkup kerja, serta melarang perusahaan atau pemberi kerja untuk menahan ijazah pekerja sebagai suatu persyaratan wajib kerja, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-Undangan.” Pemohon juga menginginkan Pasal 37 UU ASN dimaknai “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi Pengawai ASN setelah memenuhi syarat dengan persyaratan, dilarang mewajibkan penguasaan bahasa asing sebagai persyaratan mutlak atau wajib untuk melamar CPNS, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-Undangan.”
Baca juga: Gagal CPNS Terbentur Bahasa Asing, Pengacara Uji UU Ketenagakerjaan dan UU ASN
Perkara Nomor 159/PUU-XXII/2024 ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Sebelum menutup persidangan, Guntur mengatakan Majelis Hakim Panel akan melaporka persidangan perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk ditentukan nasibnya, apakah akan diputus sebelum sidang pleno atau diputus nanti setelah sidang pemeriksaan lanjutan.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina