JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata (Pemohon I) bersama Auditor Muda KPK Lies Kartika Sari (Pemohon II) dan Pelaksana pada Unit Sekretariat Pimpinan KPK Maria Fransiska (Pemohon III) memperbaiki permohonan pengujian materi Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Para Pemohon ini menambahkan kerugian hak konstitusionalnya akibat ketentuan pasal tersebut mengenai larangan pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
“Hal ini menunjukkan secara nyata akibat ketidakjelasan batasan atau kategori larangan “hubungan … dengan alasan apapun” pada pasal a quo telah menyebabkan Pemohon 1 harus menjadi terlapor atas dugaan tidak pidana dan telah merugikan Pemohon 1 secara nyata-nyata, faktual,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Periati Br. Ginting dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 158 PUU-XXII 2024 pada Kamis (28/11/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.
Para Pemohon menjelaskan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang di dalamnya terdiri dari pimpinan dan pegawai dalam menjalankan tugas tanggung jawab dan kewajibannya melakukan pencegahan dan penindakan korupsi yang di dalamnya melalui rangkaian kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pelaksanaan putusan. Maka tidak mungkin untuk tidak mengadakan hubungan dengan masyarakat. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyelidik, penyidik, penuntut, dan termasuk hakim berwenang melakukan hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lainnya yang berkaitan dengan perkara.
Sebagaimana uraian dasar hukum yang mewajibkan dan karenanya berwenang untuk mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung oleh aparat lembaga penegak hukum lainnya misalnya Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim, karena memang dalam melaksanakan tugas adalah tidak mungkin lembaga-lembaga dimaksud dilarang untuk mengadakan hubungan dengan masyarakat pelapor, saksi dan tersangka. Oleh karena itu jika terhadap pimpinan KPK dan pegawai KPK dilarang untuk mengadakan hubungan dengan pihak tersangka atau pihak lainnya, sementara terhadap subyek hukum aparat penegak hukum lainnya di Indonesia hal tersebut tidak dilarang, maka norma hukum tersebut secara nyata telah mengatur secara diskriminasi antara pimpinan dan pegawai KPK dengan aparat penegak hukum lainnya di Indonesia, hal ini melanggar Ketentuan anti diskriminasi dalam konstitusi Indonesia tercantum dalam Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Rumusan perbuatan yang diatur dalam Pasal 36 huruf a UU KPK ini yaitu perbuatan mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung kepada subyek yaitu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK. Dalam rumusan subyek yang dituju dalam berhubungan adalah tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, hal ini menunjukkan bahwa yang dituju subyeknya terdiri dari tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.
Ketentuan tentang siapa tersangka, jelas secara limitatif, karena status tersangka juga telah diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP. Sementara kepastian tentang siapa dan batasannya bagaimana dengan “Pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi” adalah tidak jelas karena pihak lainnya tersebut bisa dalam hal ini memungkinkan pelapor, saksi, keluarga, atau rekan. Berdasarkan penafsiran atas norma Pasal 36 huruf a UU KPK maupun turunan dalam norma di bawahnya pada ketentuan peraturan internal KPK telah jelas menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan hubungan tersebut dalam konteks apa, pihak lain yang dimaksud sampai derajat dan konteks apa, serta perkara yang dimaksud perkara yang ada tersangkanya atau perkara sejak penerimaan walaupun belum dinyatakan status tersangkanya. Ketidakjelasan dimaksud telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 36 huruf a UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya.”
Baca juga:
Alex Marwata Persoalkan Larangan Pimpinan KPK Bertemu Pihak Beperkara
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.