JAKARTA, HUMAS MKRI – Sebanyak 150 mahasiswa beserta 10 dosen dari Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (FH Untirta) Serang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka Student Law Improvement Program (SLIP) pada Kamis (28/11/2024). Kunjungan ini bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa baru tentang fungsi dan kewenangan salah satu lembaga negara dan wawasan langsung kepada mahasiswa tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi. Pengalaman langsung ini diharapkan memahami tentang berbagai hal, baik kegiatan akademik ataupun non-akademik di perguruan tinggi juga sarana mengenalkan dunia hukum dan disambut oleh Analis Hukum MK Arinta Sulistiyo, di Ruang Delegasi Lantai 4 Gedung 1 MK.
Wakil Dekan III FH Untirta Lia Riesta Dewi menyatakan, bahwa program Student Law Improvement bagi mahasiswa fakultas hukum dirancang untuk dilaksanakan setiap tahun. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa, baik dari segi materi di ruang kelas maupun pengalaman praktik di luar kelas.
“Salah satu kegiatan dalam SLIP adalah kunjungan ke lembaga pemerintah pusat yang berkaitan dengan bidang keilmuan hukum di Indonesia. Kami ingin mahasiswa tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga memahami bagaimana praktik hukum diterapkan di lapangan," ujarnya.
Dalam sesi pemaparannya, Tiyo—sapaan akrabnya—menekankan pentingnya keberadaan MK sebagai pilar utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sebelum MK terbentuk, banyak persoalan konstitusional yang tidak memiliki solusi yang jelas.
“Dulu, undang-undang yang bermasalah tidak memiliki mekanisme constitutional review untuk diuji, sementara pemakzulan presiden sering dilakukan dengan alasan politis tanpa landasan hukum yang kuat,” ungkap Tiyo.
Tiyo juga menyoroti konflik antarlembaga negara yang kerap diselesaikan melalui kewenangan administratif Presiden (administratief beroep), sebuah mekanisme yang menurutnya tidak mencerminkan prinsip independensi dan keadilan. Selain itu, sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik pada masa lalu ditangani Mahkamah Agung (MA) dengan mekanisme yang dinilai kurang transparan. Hal-hal tersebut yang memperkuat urgensi pembentukan MK sebagai penjaga konstitusi dan penegak prinsip negara hukum.
Tiyo menjelaskan bahwa MK memiliki enam kewenangan utama sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945, serta dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
“Kewenangan MK meliputi perannya sebagai penjaga konstitusi, penafsir final dari konstitusi, penjaga demokrasi, pelindung hak konstitusional warga negara, pelindung hak asasi manusia, dan penjaga ideologi negara, yaitu Pancasila,” paparnya.
Kemudian ia juga menambahkan bahwa MK memberikan ruang bagi warga negara Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak mereka ketika merasa dirugikan oleh undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. “MK adalah tempat bagi setiap warga negara yang mencari keadilan atas pelanggaran hak konstitusional mereka,” jelas Tiyo.
Tiyo pun memaparkan persyaratan dan dinamika jabatan Hakim Konstitusi, mengacu pada Pasal 24C UUD 1945. “Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, bersikap adil, menjadi negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak boleh merangkap sebagai pejabat negara,” jelas Tiyo.
Selanjutnya ia menerangkan bahwa dari sisi teknis, calon hakim konstitusi diharapkan memiliki tingkat pendidikan yang setinggi mungkin. “Pendidikan tinggi sangat penting. Bahkan, untuk menjadi hakim konstitusi, gelar S3 doktor yang linear dengan pendidikan S1 hukum,” katanya.
Tiyo juga berbicara terkait usia pensiun Hakim Konstitusi yang saat ini ditetapkan pada usia 70 tahun berdasarkan perubahan terbaru Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. “Perubahan soal usia pensiun ini menarik karena banyak perdebatan. Jika melihat Amerika Serikat, misalnya, hakim agung mereka menjabat seumur hidup, baik hingga mereka meninggal dunia ataupun mengundurkan diri,” ungkapnya.
Setelah paparan diisi dengan sesi diskusi dan tanya-jawab, lalu setelahnya, para mahasiswa diajak untuk berkunjung ke Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) Mahkamah Konstitusi (MK) berada di lantai 5 dan 6 Gedung 1 MK. Puskon merupakan wahana edukasi yang mengabadikan sejarah konstitusi dan MK dengan memadukan teknologi, seni, dan informasi. Ini memberikan kesempatan bagi pengunjung dapat merasakan suasana sidang konstitusi melalui simulasi virtual.(*)
Penulis: Fauzan F.
Editor: Lulu Anjarsari.