JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap dua permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Kamis (28/11/2024) di Ruang Sidang MK. Pertama, permohonan Perkara Nomor 160/PUU-XXII/2024 diajukan oleh seorang advokat bernama Boyamin Bin Saiman yang mengujikan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. Kedua, permohonan Perkara Nomor 163/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), yang diketahui dan didirikan oleh Boyamin Bin Saiman, juga mengujikan Pasal 30 ayat (1) UU KPK.
Boyamin dalam persidangan untuk Perkara Nomor 160/PUU-XXII/2024 mengatakan Pemohon mempersoalkan norma Pasal 30 ayat (1) UU KPK yang mengatur bahwa pemilihan pimpinan KPK oleh DPR berdasarkan calon anggota usulan Presiden. “Saya telah menyampaikan kepada Presiden dan DPR untuk mendaftar calon anggota Dewan Pengawas KPK yang mana panselnya semestiya dibentuk oleh Presiden 2024. Karena tidak dibentuk Presiden 2024 maka kerugian saya tidak bisa mendaftar kepada panitia seleksi yang sah. Itulah legal standing dan kerugiannya, Yang Mulia. Saya tidak mau mendaftar panitia seleksi yang dibentuk Pak Jokowi, karena menurut saya tidak sah,” ujarnya.
Menurutnya, MK telah memutuskan masa jabatan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK adalah selama 5 tahun (sebelumnya 4 tahun) dengan berbagai pertimbangan yang salah satunya untuk independensi KPK maka pemilihannya hanya dilakukan sekali oleh Presiden dan DPR. Presiden Joko Widodo telah membentuk Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK pada 2019. Padahal pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK periode 2024-2029 semestinya dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Boyamin menegaskan, setelah adanya Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 maka pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewas KPK periode 2024-2029 haruslah oleh Presiden periode 2024-2029 (Prabowo Subianto) yang sekaligus Presiden Prabowo Subianto yang menyerahkan hasil pansel kepada DPR-RI periode 2024-2029 untuk dibahas dan disetujui sebanyak 5 orang untuk kemudian dilantik menjadi Pimpinan KPK dan Dewas KPK periode 2024-2029.
Berikutnya, Boyamin memaparkan pokok permohonan Perkara Nomor 163/PUU-XXII/2024. Ia menjelaskan, Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) berupaya menjaga KPK agar di masa depan tidak menghadapi gugatan dari tersangka dengan alasan pimpinan KPK tidak sah. Menurutnya, hal ini dapat terjadi jika pansel pimpinan KPK tidak dibentuk oleh Presiden periode 2024–2029.
“Kerugian dan legal standing MAKI adalah agar KPK tidak digugat oleh tersangka-tersangka dengan alasan kepemimpinan yang tidak sah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Boyamin dalam petitumnya meminta MK menyatakan kata “Presiden” pada Pasal 30 Ayat (1) UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Presiden yang masa jabatannya sama dengan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK”. Boyamin juga meminta MK menyatakan kata “Pemerintah” pada Pasal 30 Ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Pemerintah yang masa jabatannya sama dengan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK”.
Nasihat Hakim
Menanggapi dua permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan Pemohon agar menyebutkan secara jelas mengenai ketentuan Pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji. “Apakah keseluruhan Pasal 30 ayat (1) atau ayat (2) ataukah hanya menyangkut frasa “Presiden atau Pemerintah”, itu harus jelas. Kalau yang ditulis macam ini, seolah-olah semua Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2). Padahal sebetulnya kalau dibaca intinya itu hanya frasa “Presiden dan Pemerintah” saja, nanti ditegaskan,” kata Arief menasihati.
Penulis: Utami Argawati
Editor: N Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.