JAKARTA, HUMAS MKRI – Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menjadi Pihak Terkait dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) pada Selasa (26/11/2024). Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan skema Tapera bukan merupakan beban finansial bagi masyarakat Indonesia sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sebab, dana yang ditabung tidak akan hilang dan berkurang serta dikembalikan pada akhir masa kepesertaannya berserta hasil pemupukannya sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Tapera.
“Pihak Terkait beranggapan bahwa program skema Tapera tidak dapat dianggap sebagai beban finansial bagi masyarakat Indonesia,” ujar Heru dalam sidang Perkara Nomor 86, 96, dan 134/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.
Dia menjelaskan, dengan mengumpulkan kontribusi wajib dari peserta, skema Tapera mampu menyediakan akses pembiayaan perumahan yang terjangkau sekaligus mengurangi ketergantungan pada dana pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengerahan dana Tapera akan dilakukan dengan batasan tertentu sesuai dengan dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran simpanan peserta sebagaimana diatur Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tapera, sehingga besaran pengerahannya diperhitungkan secara proporsional dan adil serta tidak menimbulkan beban finansial bagi masyarakat Indonesia.
Menurut Heru, program Tapera memberikan manfaat antara lain bunga pembiayaan perumahan lebih rendah dan bersifat tetap (fixed) dibandingkan dengan skema pembiayaan perumahan komersil dari jasa keuangan lainnya. Terdapat pilihan bantuan kepemilikan rumah yang beragam serta peserta Taperta mendapatkan hasil pemupukan dari simpanan paling sedikit sebesar rata-rata tingkat suku bunga deposito standar yang berlaku pada bank pemerintah untuk jangka waktu satu tahun bagi seluruh peserta.
Di samping itu, Heru juga membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dana Tapera terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan 124.960 peserta belum menerima pengembalian dana dengan total mencapai Rp 567,45 miliar. BP Tapera mengeklaim tidak terdapat kerugian negara yang harus ditindaklanjuti sebagaimana pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara di lingkungan BP Tapera sampai dengan Semester II Tahun 2023. BPK telah menyimpulkan tindak lanjut BP Tapera terhadap rekomendasi atas temuan BPK sudah sesuai.
Berikutnya, Heru menuturkan salah satu risiko utama dari skema Contractual Saving adalah risiko likuiditas, yaitu risiko di mana entitas tidak memiliki dana yang cukup untuk memenuhi permintaan pinjaman ketika kontrak jatuh tempo. Risiko ini dapat menjadi tantangan signifikan jika kolektif tabungan tidak memiliki sumber pendanaan yang memadai.
Solusi Perumahan Terjangkau
Heru mengungkapkan program Tapera di Indonesia dirancang untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, Program Tapera mengadopsi keunggulan dari kedua skema internasional tersebut, yaitu Dana Tapera dapat bersumber dari dana yang berbasis kepesertaan seperti dalam skema Housing Provident Fund untuk memastikan keberlanjutan kontribusi dan kesinambungan pendanaan serta Dana Tapera dapat bersumber juga dari sumber dana lainnya seperti dalam skema Contractual Saving, untuk memperkuat ketersediaan likuiditas dan mengurangi risiko pendanaan.
“Dengan perpaduan tersebut, Program Tapera bertujuan memberikan solusi perumahan yang terjangkau, berkelanjutan, dan inklusif bagi masyarakat Indonesia. Skema ini tidak hanya menjamin ketersediaan dana tetapi juga memastikan pengelolaan dana yang efektif demi mendukung pembangunan sektor perumahan di Indonesia,” kata Heru.
Pengelolaan Dana Tapera
Persidangan kali ini juga mendengar keterangan Presiden/Pemerintah. Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum Kementerian Hukum Andry Indrady mewakili Presiden/Pemerintah mengatakan dengan diaturnya kepesertaan yang bersifat wajib dan dilaksanakan sesuai dengan asas gotong royong, maka penggunaan APBN dapat difokuskan kepada penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah di bawah upah minimum yang membutuhkan rumah tetapi tidak memiliki kemampuan mengakses pembiayaan perumahan.
“Apabila kata "wajib" dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera diubah menjadi bersifat sukarela, maka pembiayaan perumahan bagi MBR akan tetap berpusat pada penggunaan APBN karena dana Tapera yang akan dikelola sebagai pembiayaan perumahan bagi MBR tidak akan terkumpul (tidak terbentuk tabungan kolektif) dengan mekanisme kepesertaan bersifat sukarela, yang pada akhirnya upaya negara dalam memenuhi hak seluruh warga negara untuk bertempat tinggal yang diatur dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjadi terhambat,” jelas Andry.
Menurut dia, penghilangan BP Tapera dapat menimbulkan berbagai implikasi, terutama terhadap pengelolaan Dana Tapera yang bersumber dari pengalihan aset Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum PNS) dan Dana FLPP, yang saat ini berada di bawah kendali BP Tapera. Dengan dilikuidasinya Bapertarum PNS dan Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (BLU PPDPP), pengelolaan Dana Tapera yang bersumber dari pengalihan aset Taperum PNS dan pengelolaan Dana FLPP telah dialihkan ke BP Tapera. Jika BP Tapera dihilangkan, maka Dana Tapera yang bersumber dari pengalihan aset Taperum PNS dan Dana FLPP akan kehilangan badan hukum yang menjadi pengelolanya.
Hal tersebut menimbulkan beberapa potensi permasalahan di antaranya kehilangan pengelola dana serta kekosongan regulasi dan tata kelola. Oleh karena itu, Andry menegaskan Presiden memohon agar MK menolak permohonan ketiga perkara ini serta menyatakan UU Tapera tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Kewajiban dan Tolok Ukur Peserta Tapera Dipertanyakan
Sejumlah Serikat Pekerja Persoalkan Kewajiban Pekerja Jadi Peserta Tapera
Pemohon Melampirkan Hasil Survei Penolakan Kepesertaan Tapera
Pemohon Sebut Kegagalan Cina Gunakan Konsep Tapera
Pemerintah dan DPR Belum Bisa Beri Keterangan, Sidang Uji UU Tapera Ditunda
Sidang Uji UU Tapera Kembali Ditunda
Pemerintah: Kewajiban Jadi Peserta Tapera Sejalan dengan Asas Gotong Royong
Sebagai tambahan informasi, MK menggabung pemeriksaan tiga permohonan perkara pengujian materi UU Tapera. Tiga perkara dimaksud, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024.
Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 dimohonkan Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung. Para Pemohon mengujikan Pasal 7 ayat (1) dan ayat 2, Pasal 72 ayat (1) huruf c UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Para Pemohon mendalilkan kewajiban Tapera menguras pendapatan masyarakat rendah, sedangkan biaya hidup semakin tinggi dan ditambah pula adanya potongan upah untuk BPJS dan biaya lainnya.
Kemudian Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera. Menurut KSBSI, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. KSBSI menyebutkan upah pekerja/buruh mandiri masih kecil bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak, namun diharuskan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar termasuk Tapera, sehingga program Tapera ini tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Terakhir, Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 diajukan sejumlah organisasi serikat pekerja, antara lain, Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif–Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Para Pemohon mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 64 huruf a UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan kewajiban menjadi anggota Tapera bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan tersebut bersifat wajib atau memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.