JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 90 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim (FH Unwahas) Semarang, pada Senin (25/11/2024). Para mahasiswa diterima langsung Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Arsul menjelaskan perbedaan beracara di MK dan Mahkamah Agung (MA). Untuk beracara di MK, kuasa hukum tidak harus advokat, melainkan siapa pun yang menerima surat kuasa. Kebijakan itu dipilih MK untuk memberikan kemudahan akses terhadap peradilan yang seluas-luasnya kepada para pencari keadilan. Hal ini tidak hanya berlaku dalam perkara pengujian Undang-Undang (UU), tetapi juga dalam perkara-perkara yang lain termasuk perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), termasuk juga PHPU Kepala Daerah.
Namun demikian, sambung Arsul, alangkah baiknya seseorang yang menjadi kuasa hukum memahami hukum acara MK, dan memahami norma yang diuji. “Sebenarnya kalau mau latihan jadi advokat, ya di MK ini paling gampang,” kata Arsul.
Arsul mengungkapkan saat ini banyak juga mahasiswa yang mengajukan permohonan ke MK. “Tetapi tentu itu bukan hanya latihan,” jelas Arsul.
Selanjutnya Arsul menjelaskan UU merupakan produk hukum namun prosesnya adalah proses politik sehingga sangat diwarnai pandangan politik sehingga perlu ada lembaga yang dapat menilai suatu UU dari perspektif hukum. Arsul mengungkapkan dirinya pernah terlibat dalam pembahasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ketika menjadi anggota legislatif. Diakuinya bahwa dalam proses pembentukan UU para anggota legislatif sangat dipengaruhi oleh hukum Barat karena pendidikan mereka kebanyakan dipengaruhi oleh pendidikan hukum Barat. Namun demikian, Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem hukum Barat. Oleh karena itu, dirinya selalu berusaha menempatkan di posisi tengah.
Menjawab pertanyaan dari peserta kunjungan mengenai pengujian perjanjian internasional, Arsul mengatakan selama perjanjian itu telah diratifikasi menjadi UU maka bisa saja diajukan pengujian UU ke MK. Arsul mencontohkan pengujian UU Narkotika beberapa waktu lalu yang juga mengaitkan dengan ratifikasi perjanjian internasional.
Sebelumnya Panitera Muda II MK, Wiryanto, dalam pemaparannya mengungkapkan bahwa banyak permohonan pengujian peraturan di bawah UU yang diajukan ke MK berbalut pengujian UU. Berikutnya Wiryanto menjelaskan mengenai alasan Komisi Yudisial tidak mengawasi MK, menurutnya, sejarah amandemen UUD NRI 1945 yang kemudian ada dalam putusan MK, secara konstruksi KY dirancang untuk mengawasi MA. Oleh sebab itu, penyebutan KY dalam UUD NRI 1945 disebut setelah norma yang mengatur MA, dan sebelum norma yang mengatur MK.
Sementara Asisten Ahli Hakim Konstitusi MK, Aditya Yuniarti dalam pemaparannya menjelaskan kewenangan MK. Selanjutnya bicara komposisi sembilan orang Hakim Konstitusi yang diusulkan masing-masing tiga oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) sebagai wujud tiga cabang kekuasaan negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Usai mendapatkan pengetahuan seputar hukum dan konstitusi, para mahasiswa berkesempatan mengikuti jalannya persidangan secara langsung dari ruang sidang pleno MK. Kemudian, para mahasiswa diajak berkeliling menjelajahi Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) yang terletak di Lantai 5 dan 6 Gedung MK. Puskon menyajikan sejarah konstitusi di Indonesia dan sejarah terbentuknya MK di Indonesia dengan suguhan yang menarik dan modern. Sejak diresmikan, Puskon MK kerap mendapat kunjungan dari berbagai instansi maupun berbagai kalangan masyarakat. Puskon MK terbuka untuk umum dan semua pengunjung yang datang tidak dipungut biaya.
Penulis: Ilham Wiryadi Muhammad.
Editor: N. Rosi.