JAKARTA, HUMAS MKRI - Kolegium dan organisasi profesi sangat berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan, karena dokter-dokter spesialis dalam bidang ilmu yang sama akan bergabung dalam organisasi tersebut demi memajukan ilmu kedokteran. Di dalamnya terdapat dokter-dokter yang berkecimpung dalam dunia pendidikan yang akan menjadi tumpuan untuk kemajuan ilmu yang dapat dipilih menjadi ketua dan anggota kolegium. Oleh karenanya, keberadaan kolegium perlu dipertahankan sebagai badan otonom yang mempunyai tugas untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi kedokteran di Indonesia serta mengelola pendidikan profesi kedokteran, termasuk pendidikan dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis.
Demikian keterangan Kolegium Akupuntur Medik Indonesia melalui Adiningsih Sri Lestari dalam sidang lanjutan terhadap permohonan yang diajukan Djohansjah Marzoeki yang berprofesi sebagai dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga, pada Senin (25/11/2024). Sidang kelima untuk Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK ini beragenda mendengar keterangan Pihak Terkait, di antaranya Kolegium Akupuntur Medik Indonesia, Kolegium Ilmu Bedah Saraf, Kolegium Keperawatan Indonesia, Kolegium Akupuntur, dan Kolegium Kedokteran Keluarga Layanan Primer terhadap pengujian Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Sebelum melanjutkan persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyatakan berdasarkan pembahasan di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tiga Pihak Terkait terakhir dapat memberikan keterangan tertulis kepada Mahkamah. Keterangan tersebut akan turut dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keterangan yang disampaikan pada sidang-sidang perkara ini.
Kolegium sebagai Badan Otonom
Melanjutkan keterangannya, Adiningsih menyebutkan perbandingan kolegium dengan negara-negara yang ada di dunia internasional, di antaranya Amerika dan Singapura. Di Amerika terdapat American Board of Medical Specialities (ABMS) yang bertugas menetapkan gold standard untuk sertifikasi medis. Hal ini dilakukan agar dokter memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, mendorong para dokter untuk terus belajar, dan meningkatkan praktik perawatan kesehatan. Sementara di Singapura, sambung Adiningsih, semua dokter yang ingin berpraktik sebagai spesialis harus memiliki akreditasi yang dilakukan oleh badan akreditasi spesialis atau Specialist Accreditation Board (SAB) serta terdaftar di bawah spesialis terkait oleh Dewan Medis Singapura atau Singapore Medical Council (SMC).
“Maka dapat disimpulkan, dokter yang berpraktik sebagai dokter spesialis harus mempunyai sertifikat spesialis yang dilakukan oleh badan yang bersifat otonom dan mandiri tanpa dipengaruhi oleh siapa pun. Sehingga, kolegium sebagai badan otonom akan dapat bekerja secara mandiri tanpa ada tekanan atau pengaruh dari manapun dapat bekerja maksimal untuk mendidik dokter-dokter, dokter spesialis, dokter subspesialis yang handal dan berintegritas tinggi untuk meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia,” jelas Adiningsih yang merupakan Ketua Kolegium Akupuntur Medik.
Hilangnya Independensi Kolegium
Setyo Widi Nugroho dari Kolegium Ilmu Bedah Saraf dalam keterangannya di persidangan menyebutkan keanggotaan Kolegium Ilmu Bedah Saraf bertanggung jawab pada muktamar dan hanya ada di tingkat pusat serta jumlah pengurusnya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dengan masa jabatan empat tahun. Tugas dan wewenangnya di antaranya mengevaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang bedah saraf; mewakili perhimpunan spesialis bedah saraf dalam pendidikan ilmu bedah saraf; melaksanakan uji kompetensi dan mengembangkan sistem pendidikan bedah saraf.
Terkait dengan UU Kesehatan khususnya Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5) ini, Setyo mengatakan Kolegium Ilmu Bedah Saraf mengambil sikap bahwa hal ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan keberadaan Kolegium Ilmu Bedah Saraf. Sebab hal tersebut telah diambil alih oleh Kementerian Kesehatan melalui sistem seleksi penetapan dan pengesahan serta menjadikan kolegium sebagai organ pelengkap Konsil Kedokteran Indonesia.
“Kolegium bertugas menjaga dan mengembangkan keilmuan bedah saraf demi mewujudkan kesehatan masyarakat melalui suatu kolaborasi yang positif dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, yang kemudian dihilangkan dengan menghilangkan independensi dari kolegium itu sendiri. Selama ini independensi kolegium tetap terjaga dengan prinsip kemandirian dan otonom tanpa pembiayaan oleh negara,” sampai Setyo.
Baca juga:
Mempertahankan Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Dokter Bedah Plastik Perkuat Dalil Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Beda Makna Kolegium dalam UU Kesehatan dengan UU Praktik Kedokteran dan UU Tenaga Kesehatan
DPR: Pembenahan Sistem Kesehatan Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Pelayanan
Sebagai tambahan informasi, pada sidang Pendahuluan di MK, Selasa (27/8/2024) lalu, kuasa hukum Pemohon, Muhammad Joni mengatakan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Akibat diberlakukannya norma hukum kolegium (baru) yang termuat pada Pasal 451 UU Kesehatan, maka legalitas kolegium-kolegium yang sudah ada menjadi hilang karena dasar pengakuannya berubah menjadi tidak sah sebagai lembaga ilmiah. Selain itu, menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut menjadikan kolegium yang legitimated menjadi illegitimated dengan membuat aturan hukum yang represif, otoriterian, sewenang-wenang, tanpa ada argumentasi hukum.
Kemudian terkait dengan Pasal 421 ayat (2) huruf b, Pemohon menilai pasal tersebut telah merugikannya karena memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Seharusnya hal demikian menjadi domein profesi dan bukan domein pemerintah.
Sebagai lembaga ilmiah kolegium bertugas mengampu ilmu kedokteran, namun menjadi tidak berdasar apabila dinormakan sebagai alat kelengkapan pemerintah karena (akan) dikendalikan penguasa politik ataupun lembaga pemerintah. Jadi, Pemohon berkepentingan atas legitimasi kolegium yang independen dengan keberadaan dan fungsinya, yang harus mencerminkan kaidah ilmiah dan jati diri ilmu kedokteran. Pemohon berpendapat, keberadaan Kolegium sebagai academic body dan bersifat independen, maka keberadaan dan fungsinya dijamin, dihormati, dan dilindungi yang bukan menjadi bagian dari kapasitas sebagai lembaga pemerintah. Sehingga tugas, fungsi, dan wewenang Kolegium tidak konstitusional jika dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024) sebagaimana termuat pada Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan.
Dalam petitum, Pemohon antara lain meminta MK menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”. Sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.