JAKARTA, HUMAS MKRI - Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) serta dua orang advokat sebagai Pemohon Perkara Nomor 156/PUU-XXII/2024 meminta ketentuan permintaan rekomendasi pengenaan sanksi pidana atau perdata dari Majelis Disiplin Profesi (MDP) tenaga kesehatan/tenaga medis dihapus. Hal itu disampaikan dalam sidang pengujian materi Pasal 308 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7) dan (8) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan agenda perbaikan permohonan.
“Menyatakan Pasal 308 Ayat (1) Sepanjang Frasa ‘terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304’, Pasal 308 Ayat (2) Sepanjang Frasa ‘terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304’, Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8) dan Ayat (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 105 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6887) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Petrus Bala Pattyona pada Senin (25/11/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon memperbaiki permohonan pada bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum atau legal standing masing-masing para Pemohon, alasan pengujian undang-undang, serta hierarki dari permohonan itu sendiri. Selain itu, mereka juga memasukkan sejumlah perkara yang pernah ditangani sekaligus dengan perbedaan penanganan kasus pidana maupun perdata sebelum dan sesudah UU a quo berlaku.
“Kami juga menguraikan bahwa MDP hanya berjumlah sembilan orang dan kami uraikan bagaimana mungkin sembilan orang bisa menangani rekomendasi seluruh kasus perdata/pidana di seluruh Indonesia itu kami tambahkan juga,” kata kuasa hukum para Pemohon yang lain, Janses E Sihaloho.
Para Pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya telah dirugikan karena berlakunya frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304” dalam norma yang diuji. Menurut para Pemohon, ketentuan norma yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi, “Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”. Kemudian Pasal 308 ayat (2) UU Kesehatan menyatakan, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai pertanggungiawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang merugikan Pasien secara perdata, harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”.
Sementara, Pasal 304 UU Kesehatan berisi ketentuan penerapan penegakan disiplin profesi dalam rangka mendukung profesionalitas tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menteri membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi. Majelis dimaksud bersifat permanen atau ad hoc yang menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Majelis yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo tersebut lembaga bernama Majelis Disiplin Profesi (MDP) bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dalam tugas dan fungsi MDP terkait dengan persoalan etik semata dan tidak mempunyai kewenangan atau kapasitas untuk menilai ada tidaknya pelanggaran hukum baik secara pidana maupun perdata. Menurut para Pemohon, tidak tepat apabila majelis etik serta merta diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan memeriksa terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan pidana atau perdata.
Jika MDP tidak serta merta dapat dipersamakan dengan lembaga penegak hukum dalam arti formal yang mempunyai kewenangan pro justitia sehingga harus menerapkan due process of law, termasuk menerapkan asas presumption of innocence, karena MDP merupakan lembaga penegak disiplin dalam profesi di bidang medis dan kesehatan, yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam penerapan disiplin ilmu yang dimiliki masing-masing profesi tersebut. Karena itu, proses yang dilakukan MDP lebih berfokus pada due process of ethics dan due process of discipline daripada due process of law.
Baca juga: Rekomendasi Pengenaan Sanksi Pidana/Perdata dari Majelis Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis Dipersoalkan
Para Pemohon mengatakan adanya perlakuan yang berbeda terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam penegakan hukum tidak dapat dibenarkan dan jelas melanggar konstitusi sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan haruslah diberlakukan sama dihadapan hukum sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Bahwa keharusan dan persyaratan adanya persetujuan majelis bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan. Upaya hukum pidana dan perdata disyaratkan terlebih dahulu. mendapatkan rekomendasi dari majelis yang dapat mengakibatkan proses peradilan menjadi berlarut larut yang menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra selaku pimpinan Majelis Hakim Panel mengatakan sidang ini akan dilaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Tak lupa juga dia menuturkan bahwa MK akan menghadapi penanganan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan