JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) di Perpustakaan Gedung 2 MK pada Senin (25/11/2024). Kunjungan ini merupakan bagian dari program pembelajaran mahasiswa dalam pemahaman hak-hak konstitusional warga negara. Para peserta disambut langsung oleh Analis Hukum Ahli Madya MK Syamsudin Noer.
Dalam sesi diskusi yang berlangsung dinamis, Syamsudin Noer—akrab disapa Sam—mengupas dasar hukum pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) serta prinsip-prinsip yang mendasari kewenangannya. “Dasar hukum MK tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dirinci melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK),” ujar Syamsudin. UU tersebut, yang mulai berlaku sejak 13 Agustus 2003, juga mengatur kewenangan MK dan ketentuan peralihan perkara yang sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA).
Selain membahas dasar hukum, Syamsudin juga memaparkan konsep konstitusi, hak-hak konstitusional warga negara, serta kewenangan dan kewajiban MK. Ia menjelaskan bahwa pihak yang dapat menjadi Pemohon di MK adalah mereka yang merasa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan suatu undang-undang.
Namun perlu diingat putusan MK bersifat erga omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh semua warga negara, bukan hanya untuk Pemohon saja. Sehingga adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dalam konteks pengajuan perkara, Syamsudin menyoroti pentingnya asas erga omnes—prinsip bahwa putusan MK berlaku untuk semua orang. “Ketika sebuah permohonan perkara diajukan dan mirip dengan perkara sebelumnya, MK harus memastikan asas nebis in idem tidak dilanggar,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa permohonan baru harus memiliki materi muatan yang berbeda dan memberikan nilai tambah, seperti hal-hal yang bersifat kontemporer atau relevan.
Syamsudin juga menekankan prinsip audi alteram partem, yaitu kewajiban mendengarkan semua pihak. “Hakim MK, ketika memeriksa permohonan, seolah-olah berada di posisi pihak yang beroposisi, kemudian menggali argumen dari sudut pandang lain. Prinsip ini memastikan setiap pihak didengar secara adil, termasuk dalam permohonan judicial review yang sering tidak melibatkan termohon secara langsung,” ujarnya.
Ia menekankan luasnya cakupan perkara yang diterima MK, mulai dari uji materi undang-undang Pemilu, Pilkada, hingga permohonan pembubaran organisasi tertentu. “Semua kasus itu diterima, karena MK bertugas memastikan konstitusi berjalan sesuai koridornya,” pungkas Syamsudin.
Menyinggung berbagai jenis perkara yang ditangani MK, Syamsudin menekankan cakupan luas kewenangan MK. “MK menerima berbagai kasus, mulai dari uji materi undang-undang Pemilu, Pilkada, hingga permohonan pembubaran Parpol. Semua diterima karena MK bertugas menjaga agar konstitusi berjalan sesuai koridornya,” tegasnya.
Syamsudin kembali menekankan peran MK sebagai penafsir akhir konstitusi. “Hakim MK bukan hanya penegak hukum, tetapi juga penjaga supremasi konstitusi dan hak-hak warga negara. Inilah mengapa mereka disebut sebagai the final interpreter of the constitution. Hakim MK diharapkan menjaga integritas dengan memegang teguh kode etik yang menuntut mereka untuk mengasingkan diri dari potensi konflik kepentingan, demi menjaga independensi dan keadilan. (*)
Penulis: Fauzan F.
Editor: Lulu Anjarsari P.