SOLO, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) menjamin kepastian hukum untuk energi berkelanjutan. Dalam beberapa kasus, MK memberikan keputusan untuk membatalkan atau merevisi aturan yang bertentangan dengan hak atas lingkungan hidup dan berkelanjutan energi.
"MK dapat menilai apakah kebijakan atau undang-undang terkait energi berkelanjutan telah memenuhi prinsip keberlanjutan," ujar Guntur dalam Seminar Pusat Studi Hukum Kebijakan Politik dan Energi LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS) pada Sabtu (24/11/2024).
Guntur menuturkan peran tersebut terwujud melalui fungsi MK dalam menjaga konstitusionalitas hukum, menegakkan hak asasi manusia (HAM), dan memastikan kebijakan pemerintah sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 menjadi salah satu putusan yang mencerminkan perannya mewujudkan target ke-7 SDGs atau Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).
Putusan tersebut membatalkan keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan kecuali penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi.
Selain itu, ada Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 yang menyatakan ketentuan tindak pidana kehutanan tidak berlaku bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, sepanjang melakukan penebangan pohon, memanen, memungut hasil hutan dan beternak dalam kawasan hutan dilakukan bukan untuk kepentingan komersial. Ada juga Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menyatakan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk wilayah dan sumber kekayaan alam yang dikuasai negara demi sebesar-besar kemakmuran rakyat agar sumber daya alam dapat dinikmati secara turun temurun.
Warisan Anak Cucu
Karena itu, Guntur mengatakan bumi adalah warisan anak cucu. Menurut dia, sumber daya bumi merupakan warisan bersama umat manusia yang harus dilestarikan untuk kepentingan semua generasi, termasuk generasi yang akan datang.
"Bahwa bumi yang kita huni ini bukanlah warisan dari nenek moyang. Tapi ini adalah titipan dari anak cucu," kata Guntur.
Dia mengatakan generasi saat ini adalah pengelola sementara (trustees) bumi untuk generasi mendatang sehingga harus memastikan lingkungan tetap dapat mendukung kehidupan. Setiap aktivitas manusia harus memperhitungkan dampaknya terhadap generasi mendatang untuk keseimbangan menjaga ekosistem dan keberlanjutan kehidupan di bumi. Karena itu tanggung jawab manusia untuk bertindak sebagai penjaga bumi (stewards) memastikan bumi tetap sehat dan produktif bagi generasi yang akan datang.
Guntur menyebutkan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan ke dalam konstitusi ialah dengan menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat konstitusi. Hal tersebut diselaraskan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan ke dalam tata kelola digital melalui kerangka hukum dan konstitusional (green digital constitutionalism).
Guntur menjelaskan integrasi lingkungan dalam ruang digital menggunakan teknologi digital untuk mendukung pelestarian lingkungan seperti pemantauan emisi karbon, konservasi sumber daya alam, dan mitigasi perubahan iklim. Namun penting untuk membangun ekosistem digital yang ramah lingkungan seperti mengurangi jejak karbon dari pusat data dan infrastruktur teknologi.
Selain itu, green digital constitutionalism mengakui hak atas informasi lingkungan di ruang digital termasuk akses terbuka ke data yang relevan dengan perlindungan lingkungan serta menjamin teknologi digital tidak merusak hak atas lingkungan hidup yang sehat. Keadilan lingkungan dan digital dengan memastikan teknologi digital tidak menciptakan atau memperparah ketimpangan akses terhadap sumber daya terutama bagi kelompok rentan. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.