JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Selasa (19/10/2024). Sejatinya, agenda sidang ketiga untuk Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 hari ini yakni mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah/Presiden. Akan tetapi, DPR dan Pemerintah/Presiden mengajukan penundaan sidang.
Oleh karena itu, sidang pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ditunda hingga Selasa (10/12/2024) mendatang.
“Sidang hari ini seharusnya beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, tetapi keduanya menyampaikan surat bahwa keterangan belum siap untuk disampaikan. Sehingga, sidang hari ini belum bisa dilanjutkan. Jadwal ulang sidang akan digelar pada Selasa, 10 Desember 2024 pukul 10.30 WIB. Supaya semua dapat hadir tanpa kami panggil lagi dan Pemerintah untuk tidak meminta penundaan lagi, karena peradilan cepat dan berbiaya murah harus diupayakan untuk diwujudkan,” sampai Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi, di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Perludem: Pemilu Serentak Lima Kotak Melemahkan Pelembagaan Partai Politik
Perludem Perkuat Argumentasi Uji Pemilu Serentak Lima Kotak
Sebagai tambahan informasi, dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Jumat (4/10/2024), Perludem melalui tim kuasa hukumnya menyebutkan pemilu serentak lima kotak telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Sebab dalam pandangan Pemohon, pengaturan keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis, dan implementasi undang-undang saja.
Selain itu, pengaturan jadwal penyelenggaraan pemilu akan berdampak sangat serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu yang termuat dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 serta berdampak pada kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945. Sehingga pengaturan pada undang-undang tersebut yang memerintahkan pelaksanaan pemilu Presiden, DPR, DPD, yang dibarengi dengan pemilu anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terbukti terus-menerus membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus. Akibatnya, partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan.
Dalam petitum, Perludem antara lain meminta MK menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD NRI 1945, sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden pada pelaksanaan pemilu nasional, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota pada pelaksanaan pemilu daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.