JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemberian prioritas dalam penawaran WIUPK tetap memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi. Bahkan dalam kelanjutannya penetapan WIUPK hanya dilakukan apabila telah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; ketahanan cadangan; kemampuan produksi nasional; dan/atau pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Demikian keterangan yang disampaikan Anggota Komisi III DPR RI M. Nasir Djamil dalam sidang lanjutan atas uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada Senin (18/11/2024). Sidang keenam Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 ini diajukan Rega Felix.
Lebih jelas Nasir menyebutkan, pemberian prioritas terhadap BUMN dan BUMD telah secara jelas diatur dalam Pasal 75 ayat (3) UU 3/2020. Sementara untuk badan usaha swasta telah jelas diatur Pasal 75 ayat (4) UU 3/2020. Selain BUMN dan BUMD yang diberi prioritas, IUPK terhadap badan usaha lain dapat diberikan melalui proses lelang.
Pemohon meminta agar dilakukan pembatasan pemaknaan norma hanya terhadap BUMN dan BUMD. Hal ini menurut DPR berakibat terjadinya pengulangan perumusan norma Pasal 75 ayat (3) UU 3/2020 yang telah mengkonstruksikan pemberian WIUPK secara prioritas.
“DPR RI berkesimpulan dalil Pemohon yang menganggap pasal a quo multitafsir dalam pemberian prioritas terhadap BUMN dan BUMD serta memberi kewenangan terlalu luas, contohnya dengan dibentuknya PP 25/2024 dalam pengelolaan mineral dan batubara adalah tidak berdasar hukum. Sehingga DPR RI berpandangan tidak ada persoalan inkonstitusionalitas norma yang muncul dari pemberlakuan pasal a quo,” jelas Nasir dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Peran Badan Usaha Swasta
Ihwal diakuinya eksistensi entitas lain yakni badan usaha swasta, DPR RI berpandangan keberadaannya dalam pengelolaan minerba sebagai bagian dari konsep penguasaan oleh negara berdasarkan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Badan usaha swasta sebagian besar modalnya dimiliki oleh pihak swasta, baik perseorangan maupun kelompok serta didirikan untuk mencari keuntungan dalam mengembangkan usaha, mengelola sumber daya ekonomi yang tidak vital, dan membuka lapangan kerja.
Selain itu, badan usaha swasta memiliki peran penting dalam menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat, yakni membantu pemerintah dalam mengusahakan kegiatan produksi dan membantu meningkatkan devisa negara. Oleh karenanya, pemberian kepastian hukum dalam pengelolaan minerba bagi badan usaha swasta justru sejalan dengan konsep demokrasi ekonomi yang mengakui keberadaan badan usaha swasta untuk mengelola minerba.
“Badan usaha swasta memiliki peran dalam peningkatan pendapatan negara dari pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Sebagaimana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP, sektor SDM Tahun 2023 mencapai angka Rp300,3 Triliun atau 116% dari target yang ditetapkan sebesar Rp259,2 triliun. Dengan demikian, DPR RI berpendapat pasal a quo UU 3/2020 telah mengatur hal yang sudah sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yang baik guna menjawab kebutuhan hukum, sehingga telah sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,” jelas Nasir.
Dukungan pada Ormas
Pada persidangan ini, Presiden/Pemerintah menghadirkan Fitra Arsil selaku Ahli. Fitra menyebutkan bahwa penawaran WIUPK secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan merupakan bentuk dukungan dari Pemerintah dalam pengelolaan ormas keagamaan. Sehingga perlu dibedakan antara badan usaha dan ormas keagamaan sebagai badan usaha yang tunduk pada mekanisme badan usaha itu sendiri. Ormas keagamaan sebagai pemegang saham, akan mendapat keuntungan yang bisa digunakan untuk kemakmuran secara luas.
Lebih jauh lagi Fitra mengungkapkan, hal yang perlu ditekankan bahwa prinsip relasi organisasi keagamaan dengan anggotanya bukan suatu bentuk relasi kepemilikan saham. Akan tetapi organisasi keagamaan memiliki pemangku kepentingan yang terhubung dalam relasi kultural yang bersifat melayani dan bekerja sama untuk kepentingan umum yang luas. Aktivitas organisasi keagamaan bukan hanya dapat dinikmati oleh anggotanya saja yang terdaftar secara resmi, namun dapat dinikmati masyarakat secara luas, bahkan lintas agama. Rumah sakit, sekolah, dan berbagai aktivitas sosial keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi keagamaan dapat dinikmati masyarakat secara luas. Oleh karenanya, secara prinsip Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Minerba tidak dapat memberikan batasan prinsip yang diberikan pada Pasal 6 ayat (1) huruf j UU Minerba.
“Karena keduanya mengatur hal yang berbeda dan pada dasarnya tidak mencakup larangan penawaran WIUPK secara prioritas sebagai bagian dari kewenangan pemerintah. Dengan demikian, pemaknaan dari kewenangan pemerintah pusat untuk melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Minerba tidak terbatas pada pihak-pihak yang dituju dalam Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Minerba, yaitu BUMN dan BUMD,” sampai Fitra.
Badan Usaha Milik Ormas Keagamaan
Sementara itu, Yetty Komalasari Dewi yang juga merupakan ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah dalam keterangannya menyebutkan WIUPK tidak ditawarkan kepada ormas keagamaan, tetapi badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 83A Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan kewenangan yang dimiliki pemerintah berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf j UU Minerba. Berdasarkan aturan tersebut, penawaran WIUPK secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan dilakukan dengan catatan hanya terbatas pada wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
“Penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada badan usaha milik ormas keagamaan untuk terlibat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang keuntungannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas dan bukan hanya individu tertentu. Karena sejatinya penerima manfaat dari berbagai program dan kegiatan ormas keagamaan, masyarakat secara luas dan bukan hanya anggotanya,” terang Yetty.
Baca juga:
Prioritas Pengelolaan Tambang ke Ormas Dipertanyakan
Advokat Perjelas Makna “Prioritas” dalam Uji Pengelolaan Tambang oleh Ormas
DPR dan Pemerintah Minta Penjadwalan Ulang Sidang Uji UU Minerba
Pemerintah: Penawaran WUIPK Secara Prioritas Memperluas Kapasitas Pengelolaan Minerba
Ahli Pemerintah Jelaskan Kapasitas Ormas Keagamaan Kelola Tambang
Sebelumnya, seorang advokat sekaligus dosen, Rega Felix, mengajukan pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dilaksanakan di MK pada Rabu (24/7/2024), Rega mengatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945.
Menurutnya, Pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan. Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”. Kemudian meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” dalam Pasal 35 Ayat (1) sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 26 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.