JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap pengujian Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Sidang lanjutan dari permohonan Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini dilegar di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (18/11/2024). Dalam sidang keenam dari Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini, Pemohon menghadirkan dua ahli yakni Yetty Komalasari Dewi dan Nikki Krisadtyo serta saksi atas nama Jou Samuel Hutajulu.
Yetty Komalasari Dewi dalam keterangannya menyebutkan akibat dua pengertian putusan arbitrase internasional dalam Pasal 1 angka 9 UU AAPPS tidak memuat penjelasan lebih lanjut mengenai parameter putusan arbitrase non-domestik. Dalam Pasal 66 huruf a dan Pasal 67 ayat (2) huruf c AAPS menegaskan putusan arbitrase internasional hanya putusan arbitrase asing atau hanya putusan yang dijatuhkan di luar Indonesia. Sebagai ilustrasi, Yetty memberikan contoh pada Putusan MA Nomor 904K/PDT.SUS/2009 yang menurutnya tidak dapat dijadikan sumber hukum untuk memenuhi unsur ketentuan hukum Indonesia yang termuat dalam Pasal 1 angka 9. Sebab, Indonesia tidak menganut binding force of precedent seperti di negara common law.
Lebih konkret Yetty mengungkapkan, bahwa pengaturan batasan putusan arbitrase non-domestik yang ada di negara lain, seperti Singapura, Malaysia, atau di UNCITRAL Model Law tidak mencantumkan unsur asing sebagaimana dimuat pada putusan Mahkamah Agung tersebut. Keberadaan parameter adanya unsur asing tersebut kemudian secara nyata diterapkan sebagai asal ada frasa asing di dalam suatu perkara arbitrase, kemudian menjadi dasar penafsiran suatu putusan menjadi putusan arbitrase internasional.
“Apabila ada pihak yang pada awalnya telah berniat untuk menjadikan suatu proses arbitrase menjadi suatu putusan arbitrase nasional, namun akibat dari salah satu pemegang saham atau salah satu direksi terkait dengan perjanjian yang menggunakan bahasa asing, bisa tiba-tiba suatu pengadilan dapat menafsirkan hal itu tergolong arbitrase internasional,” urai Yetty.
Perbandingan dengan Negara Lain
Sementara itu, Nikki Krisadtyo selaku ahli yang dihadirkan Pemohon menjelaskan ketentuan Putusan Arbitrase Internasional di Inggris dan membandingkannya dengan beberapa negara lain yang menganut sistem hukum common law. Arbitrase di Inggris diatur dalam Arbitration Act 1996 (Arbitration Act), yang tidak mengadopsi UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.
Disebutkan Nikki bahwa Pasal 100 hingga 104 Arbitration Act secara khusus mengatur mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang tunduk pada Konvensi New York. Atas putusan arbitrase internasional, suatu pihak dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 103 Arbitration Act karena ketentuannya mengikuti Pasal 5 Konvensi New York. Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 66 s.d. Pasal 79 Arbitration Act. Maka terhadap putusan arbitrase nasional, sambung Nikki, suatu pihak dapat mengajukan keberatan yang dapat berakibat pada pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan Pasal 67 s.d. Pasal 69 Arbitration Act.
“Walaupun Arbitration Act sudah berusia 28 tahun, norma-norma sehubungan dengan arbitrase terus dikembangkan melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan mengikat sesuai dengan prinsip Stare Decisis yang dianut negara-negara common law. Saat ini Inggris juga dalam proses merevisi Arbitration Act dan sudah masuk dalam Program Legislasi Parlemen Inggris 2024,” jelas Nikki yang merupakan praktisi hukum dengan izin beracara sebagai Solicitor di Pengadilan Tinggi Inggris dan Wales serta advokat di Indonesia.
Pengaturan Putusan Arbitrase Internasional
Kemudian Nikki menjelaskan terkait nomenklatur yang digunakan dalam Arbitration Act, yakni New York Convention Award atau Putusan Konvensi New York. Pasal 100 ayat (1) Arbitration Act secara limitatif mengatur putusan Konvensi New York menjadi putusan arbitrase yang dibuat di luar wilayah Perserikatan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara. Berdasarkan Pasal 100 ayat (1) Arbitration Act menutup kemungkinan suatu putusan arbitrase yang dibuat di wilayah hukum Inggris untuk dianggap sebagai suatu Putusan Arbitrase Internasional.
”Berdasarkan hal tersebut, Inggris menganut konsep ruang lingkup Putusan Arbitrase Internasional semata-mata ditentukan dari tempat dibuatnya putusan arbitrase yang bersangkutan. Pengadilan di Inggris secara konsisten memutus bahwa suatu putusan arbitrase adalah putusan arbitrase nasional yang selama dikeluarkan di Inggris, kendati terdapat elemen-elemen internasional dalam perkara yang bersangkutan,” papar Nikki.
Perubahan Arbitrase
Jou Samuel Hutajulu sebagai Saksi yang dihadirkan Pemohon menceritakan bahwa sengketa antara PT Lirik Petroleum melawan PT Pertamina Persero dan PT Pertamina EP terkait pelaksanaan kontrak EOR Lirik. Dalam perkara ini, PT Lirik mengajukan permohonan arbitrase terhadap Pertamina Persero dan PEP ke ICC yang terdaftar dengan Register Perkara Nomor 14387/JB/JEM atau disingkat dengan Putusan Arbitrase Lirik. Konsisten dengan seat of arbitration yang disepakati, pada faktanya persidangan arbitrase diadakan di Jakarta. Setelah persidangan dan pemeriksaan berlangsung, pada intinya permohonan PT Lirik dikabulkan sebagian. Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut, sambung Samuel, majelis arbiter melalui kuasanya mendaftarkan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21 April 2009 dengan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Nomor 02/PDT/ARB-INT/2009/PN.JKT.PST yang ditindaklanjuti dengan Penetapan Eksekuatur Nomor 4571 pada 23 April 2009. Namun pada putusan arbitrase yang didaftarkan tersebut, didaftarkan sebagai putusan arbitrase internasional.
“Atas hal ini Pertamina mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang tercatat dengan Perkara Nomor 01/Pembatalan Arbitrase/2009/PN.JKT.PST. Pada intinya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan dimaksud dengan pertimbangan, putusan arbitrase Lirik merupakan putusan arbitrase internasional karena dijatuhkan oleh ICC Arbitration Court yang merupakan lembaga Arbitrase Internasional yang berkedudukan di Paris, Perancis. Putusan tersebut dikuatkan pada tingkat Kasasi Nomor 904K/PDT/2009 dan Peninjauan Kembali Nomor 56/PK/PDT.SUS/2011,” cerita Samuel.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Advokat Perjelas Dalil Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
DPR RI dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Uji Ketentuan Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Dua Permasalahan Utama Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia
Sebagai informasi, pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (7/8/2024) lalu, Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia selaku Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya.
Sementara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan