JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada Senin (18/11/2024). Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 154/PUU-XXII/2024 yang diajukan Edi Iswadi.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Azam Prasojo Kadar selaku kuasa Pemohon menyampaikan telah memperbaiki kedudukan hukum Pemohon (legal standing) dengan menguraikan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, khusus, dan aktual, atau setidak-tidaknya menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. “Pada intinya di hubungan sebab-akibat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga telah mencantumkan subbagian Permohonan Pemohon tidak ne bis in idem. “Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian materiil yang di dalamnya terdapat pertimbangan hukum terkait permohonan tidak ne bis in idem yang dituangkan dalam Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021,” jelasnya.
Baca juga:
Menguji Aturan Cuti Calon Kepala Daerah Petahana
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 154/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian UU 10/2016 (UU Pilkada) diajukan Edi Iswadi, Kepala Desa (kades) Bojongsari Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Dalam sidang perdana yang dilaksanakan di MK pada Senin (04/11/2024), Sulthoni selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan, ketentuan mengenai cuti "selama masa kampanye" bagi calon kepala daerah petahana tidak sesuai dengan prinsip moralitas dan rasionalitas.
Dari perspektif keadilan, Pemohon merasa aturan cuti yang terbatas pada masa kampanye saja menimbulkan ketidakadilan baik bagi Pemohon sebagai kades maupun sebagai pemilih. Sebagai kades, Pemohon merasa berpotensi terkena dampak dari penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan, di mana calon kepala daerah petahana berpotensi melakukan intervensi untuk mengamankan kontestasinya. Sebagai pemilih, Pemohon mengharapkan adanya proses pemilihan yang jujur, bebas, dan adil, tanpa adanya pengaruh atau intervensi dari calon kepala daerah petahana, sesuai dengan jaminan yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Lebih lanjut, Pemohon menegaskan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena melanggar hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Dalam petitum, Para Pemohon memohon agar MK menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang mencalonkan kembali di daerah yang sama wajib memenuhi ketentuan untuk menjalani cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.