JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pembentuk undang-undang mempertimbangkan penggunaan peralatan pemilihan secara elektronik yang pada dasarnya merupakan pengadopsian teknologi digital dalam pemilu. Penggunaan peralatan pemilihan secara elektronik dinilai Mahkamah memiliki manfaat guna mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate.
Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Perkara yang diajukan oleh Satrio Anggito Abimanyu bersama 10 (sepuluh) rekannya yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Guntur menyebut terdapat beberapa cara yang digunakan pada pemilihan dengan memanfaatkan peralatan pemilihan secara elektronik, antara lain electronic voting (e-voting) yang telah dipraktikkan dalam pemilihan Kepala Dusun di Jembrana, Bali, pada 2009 dan pemilihan Kepala Desa di Desa Babakan Wetan, Bogor, pada 2017. Secara lebih luas, penggunaan e-voting telah pula digunakan di beberapa negara dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda.
Kemudian, Guntur menambahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa penggunaan e-voting adalah konstitusional dengan syarat secara kumulatif. Syarat tersebut, yaitu (i) tidak melanggar asas luber dan jurdil; dan (ii) daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan. Selain e-voting, dikenal pula internet voting (i-voting) yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi internet. I-voting merupaka proses pemberian suara bisa dilakukan di mana saja, tanpa harus mengumpulkan pemilik suara di satu tempat. Lebih lanjut, selain pemanfaatan peralatan pemilihan secara elektronik, terdapat pula cara pemilihan/pemungutan suara dengan proxy voting yang tergolong ke dalam special voting arrangements (SVA) atau pemungutan suara khusus karena pemilih memberikan wewenang kepada orang lain untuk memberikan suaranya. Cara demikian acapkali dipakai untuk membantu pemilih yang berkebutuhan khusus (disabilitas) yang memerlukan bantuan orang lain untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Selain ketiga cara tersebut, terdapat pula early voting (pemungutan suara dimana pemilih dapat memberikan suara sebelum hari pemilihan yang dijadwalkan), postal voting [pemungutan suara di mana surat suara dibagikan kepada pemilih (dan biasanya dikembalikan) melalui pos], serta mobile ballot box (TPS keliling).
Guntur menekankan adapun penentuan metode pemilihan/pemungutan suara mana yang dapat digunakan, bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukan, melainkan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan dan mengaturnya dengan tetap memperhatikan prinsip dan asas pemilu serta kesiapan dari segala aspek dimaksud.
“Dalam kaitan ini, demi melindungi hak pilih pemilih yang merupakan hak konstitusional warga negara, persoalan yang dikemukakan para Pemohon harus mendapat perhatian pembentuk undang-undang untuk diatur dalam perubahan undang-undang pemilu ke depan, in casu pilkada serentak Tahun 2029 dan seterusnya,” urai Guntur dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis (14/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mencampuradukkan
Terkait petitum Pemohon, Guntur menyampaikan para Pemohon telah mencampuradukkan antara ketentuan pada sistem pemilihan konvensional dengan sistem pemilihan yang memanfaatkan peralatan secara elektronik dan sistem pemilihan yang lain (proxy voting). Sebelumnya, para Pemohon memohon agar frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 dimaknai, “termasuk di luar daerah provinsi asal, dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal, melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b, atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting)”, sehingga Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 selengkapnya menjadi, “Pemilih yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6) kemudian berpindah tempat tinggal atau karena ingin menggunakan hak pilihnya termasuk di luar daerah provinsi asal, dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal, melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b, atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting), Pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS setempat”.
Terhadap hal tersebut, Guntur menegaskan Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 merupakan ketentuan sistem pemilihan konvensional yang mengatur mengenai pindah memilih dikarenakan adanya “keadaan tertentu”, antara lain berpindah tempat tinggal atau karena ingin menggunakan hak pilihnya di tempat lain, yang menyebabkan pemilih tidak dapat memilih di daerah masing- masing pemilih terdaftar dalam DPT dan mengharuskan pemilih yang bersangkutan melapor kepada PPS. Adapun para Pemohon pada pokoknya memohon agar pemilih yang tidak dapat memilih di daerah pemilih tersebut terdaftar dalam DPT atau sedang berada di luar daerah provinsi asal, dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal karena adanya “keadaan tertentu”, tetap dapat menggunakan hak pilihnya melalui peralatan pemilihan secara elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf b atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting). Petitum permohonan mispersepsi karena mencampuradukkan antara sistem pemilihan yang konvensional dengan sistem pemilihan yang memanfaatkan peralatan secara elektronik dan sistem pemilihan yang lain (proxy voting).
“Oleh karenanya permohonan para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar Guntur dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut. Mahkamah pun menolak permohonan ini untuk seluruhnya.
Baca juga:
Ketidakjelasan Aturan Pemindahan TPS Ancam Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah
Mahasiswa UII Perbaiki Permohonan Uji Materi UU Pilkada
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Jumat (4/10/2024), para Pemohon berpendapat bahwa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dirugikan oleh berlakunya Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015. Frasa “di tempat lain” dan “di TPS lain” dalam ketentuan tersebut tidak memberikan kejelasan terkait pemindahan lokasi pemilihan, khususnya bagi pemilih yang harus memilih di luar provinsi atau kabupaten/kota. Akibat ketidakjelasan ini, para Pemohon yang tengah menempuh pendidikan di luar daerah asal terancam kehilangan hak pilih Para Pemohon pada Pilkada 27 November 2024.
Para Pemohon menganggap memenuhi syarat "keadaan tertentu" yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) PKPU Nomor 7 Tahun 2024, karena tidak dapat memilih di TPS asal akibat sedang menempuh pendidikan di tempat lain. Namun, aturan yang ada tidak secara spesifik mengakomodasi pemindahan lokasi pemilih lintas daerah, sehingga Para Pemohon berpotensi tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Sehingga, para Pemohon meminta MK untuk memprioritaskan pemeriksaan permohonan yang diajukan guna melindungi hak konstitusional Para Pemohon dan mencegah terjadinya kerugian konstitusional. Para Pemohon juga memohon agar MK menyatakan frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal.” Selain itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 juga bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai “di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal”. (*)
Penulis: Utami Argawati/L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina