JAKARTA, HUMAS MKRI - Penghitungan perolehan suara pada pilkada dengan calon tunggal berdasarkan persentase terhadap DPT akan berakibat pada ketidakpastian hukum. Sebab hal ini akan menimbulkan perbedaan standar penghitungan dan/atau penetapan terkait pilkada antara Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada dan pasal-pasal lainnya dalam undang-undang terkait, sehingga hal demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Demikian salah satu pertimbangan hukum Mahkamah atas uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Permohonan diajukan M. Taufik Hidayat (Pemohon I) dan Doni Istyanto Hari Mahdi (Pemohon II). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 139/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Kamis (14/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan hukum MK menyatakan, Mahkamah tidak dapat melepaskan pendiriannya melalui Putusan MK Nomor 14/PUU-XVII/2019. Meski memiliki alasan yang berbeda dari permohoan terdahulu tersebut, pada permohonan ini esensi alasan yang didalilkan sama yakni mempersoalkan keikutsertaan satu pasangan calon yang kalah dalam pilkada berikutnya. Sehingga Mahkamah tidak memiliki alasan hukum yang fundamental dan mendasar untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. Maka sepanjang berkaitan dengan konstitusionalitas norma a quo secara mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam permohonan ini.
“Bahwa pasangan calon tunggal yang kalah dalam pilkada sebelumnya tidak dapat dilarang untuk mencalonkan kembali dalam pilkada berikutnya sepanjang calon pasangan tersebut memenuhi syarat-syarat pencalonan serta mengikuti kembali proses verifikasi dan dinyatakan lolos verifikasi untuk pemilihan kepala daerah berikutnya. Dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” sebut Arsul.
Alhasil, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon. “Amar Putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan MK di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Prosedur Pengesahan Suara Pasangan Calon Tunggal vs Kotak Kosong Dipersoalkan
Pemohon Perkuat Alasan Hukum Prosedur Pengesahan Suara Pasangan Calon Tunggal vs Kotak Kosong
Sebagai tambahan informasi, dalam Sidang Pendahuluan, Rabu (9/10/2024) para Pemohon menyebutkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab pasal tersebut mengatur prosedur dan tata cara pengesahan perolehan suara bagi pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong setelah pemungutan suara. Hal ini menurut para Pemohon dapat menjadi celah hukum dalam pelaksanaan Pilkada yang tidak demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Sehingga para Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusionalnya, jika ternyata pelaksanaan ketentuan pasal a quo digunakan sebagai upaya melakukan penyelundupan hukum yakni secara sengaja hanya meloloskan satu pasangan calon saja. Partai politik yang berkewajiban menjalankan UU Politik, tidak boleh dibiarkan menghilangkan hak konstitusional para Pemohon sesuai ketentuan UU Pilkada sepanjang penerapannya digunakan secara sengaja agar pemilihan hanya diikuti satu pasangan calon saja.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Tiara Agustina.