JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan yang diajukan Herdi Munte dan Missiniaki Tommi, pada Kamis (14/11/2024). Para Pemohon mengujikan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat mengucapkan amar Putusan Nomor 145/PUU-XXII/2024 dalam persidangan yang digelar di di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 inkonstitusional sepanjang tidak ditambahkan frasa “kolom kosong sebagai wujud pelaksanaan suara kosong” dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015 dan Pasal 94 UU 8/2015 dan penambahan frasa “haruslah mengalahkan perolehan suara kolom kosong (blank vote)” dalam Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016. Dengan kata lain, para Pemohon menghendaki agar perolehan suara kolom kosong atau suara kosong diakui keberadaannya dalam pemilihan kepala daerah dengan lebih dari satu pasangan calon.
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya mengatakan, tidak adanya pilihan “blank vote” dalam pilkada dengan lebih dari satu pasangan calon tidak mengurangi hak memilih seperti yang didalilkan oleh para Pemohon. Dalam posisi demikian, Mahkamah belum memiliki alasan mendasar untuk bergeser dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 125/PUU-XXII/2024. Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 125/PUU-XXII/2024 mutatis mutandis berlaku untuk pertimbangan hukum permohonan a quo sepanjang norma Pasal 79 ayat (1), Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015, dan Pasal 94 UU 8/2015.
Kemudian, Pasal 107 ayat (1) UU 10/2016 dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 merupakan norma yang substansinya kelanjutan dari norma Pasal 79 ayat (1), Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015, dan Pasal 94 UU 8/2015. Ketiga norma dimaksud telah dinyatakan tidak inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 125/PUU-XXII/2024, sehingga menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk menilai dan mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016. Dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, MK menyatakan setelah Mahkamah mencermati secara saksama dalil para Pemohon dalam permohonan a quo, meskipun dalam perkara a quo para Pemohon memiliki alasan yang berbeda dengan dalil permohonan dalam Perkara Nomor 14/PUU-XVII/2019, namun esensi alasan yang menjadi dalil dalam perkara tersebut mempersoalkan masalah konstitusionalitas norma yang sama dengan perkara terdahulu yang mempersoalkan keikutsertaan satu pasangan calon yang kalah dalam pemilihan kepala daerah berikutnya.
Terhadap hal tersebut, sambungnya, Mahkamah tidak memiliki alasan hukum yang fundamental dan mendasar untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. Oleh karenanya. pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XVII/2019 sepanjang berkaitan dengan konstitusionalitas norma a quo secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum dalam permohonan norma Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016. Dalam hal ini, Mahkamah tetap berpendirian bahwa pasangan calon tunggal yang kalah dalam pilkada sebelumnya tidak dapat dilarang untuk mencalonkan kembali dalam pilkada berikutnya sepanjang pasangan calon tersebut memenuhi syarat-syarat pencalonan serta mengikuti kembali proses verifikasi dan dinyatakan lolos verifikasi untuk pemilihan kepala daerah berikutnya.
Dengan demikian, dalil para Pemohon yang memohon norma Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 dimaknai "jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan dilarang mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya", adalah tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 tidak melanggar prinsip kedaulatan rakyat, demokrasi, serta hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Suara Kosong dalam Pilkada
Pemohon Minta Blank Vote Dianggap Sah dalam Pilkada
Sebagai tambahan informasi, dalam sidang perdana yang dilaksanakan di MK pada Kamis (17/10/2024) Herdi Munte menyatakan adanya perlakuan yang tidak adil karena suara ketidaksetujuan (blank vote) dianggap sah dalam pilkada dengan calon tunggal. Namun, ketika peserta pilkada lebih dari satu pasangan calon, blank vote tidak diakui sebagai suara sah.
“Golput pada pilkada saat ini sangat banyak terjadi, di kota Medan pilkada pada 2015 berjumlah 24,9 persen. Fenomena golput ini menjadi dorongan bagi kami,” sebutnya.
Sementara Missiniaki Tommi, dalam persidangan mengatakan pasangan calon Gubernur Sumatera Barat dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan. Ia merasa haknya sebagai pemilih untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhalang oleh undang-undang yang tidak mengakui preferensi ketidaksetujuan dalam bentuk blank vote.
Para Pemohon juga menegaskan bahwa pengakuan terhadap blank vote merupakan perwujudan hak politik rakyat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap semua pasangan calon yang ada. Jika blank vote menang, maka pemilihan harus diulang dan pasangan calon yang kalah oleh blank vote tidak boleh mencalonkan diri lagi di pemilihan ulang.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Tiara Agustina.