JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang diajukan oleh Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Para Pemohon mempersoalkan desain surat suara pilkada dengan calon tunggal, yang hanya memuat satu kolom dengan foto pasangan calon dan satu kolom kosong tanpa penjelasan mengenai implikasi dari masing-masing pilihan.
Dalam amar Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah menyatakan Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat nama dan foto pasangan calon serta 2 (dua) kolom kosong di bagian bawah yang berisi/memuat pilihan untuk menyatakan "setuju" atau "tidak setuju" terhadap 1 (satu) Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota".
Berikutnya, Mahkamah menyatakan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak hari pemungutan suara, dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan".
Kekhawatiran Pemohon
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukum MK menjelaskan berkaitan dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap desain surat suara dengan mekanisme kolom kosong seperti termaktub dalam Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada yang telah digunakan oleh KPU dalam Pilkada Serentak Tahun 2019 akan menyebabkan para pemilih kebingungan dalam menentukan pilihan dan akan mengarahkan para pemilih untuk mencoblos foto pasangan calon tunggal dibandingkan memilih kolom kosong, akibat tidak adanya penjelasan atas implikasi dari masing-masing pilihan yang ada dalam surat suara tersebut, baik pilihan untuk mencoblos pada kolom dengan foto pasangan calon, maupun pilihan mencoblos pada kolom kosong. Menurut Mahkamah kekhawatiran tersebut wajar dan potensial terjadi. Sebab, pada surat suara yang digunakan dalam pilkada dengan 1 (satu) pasangan calon dimaksud, hanya terdapat keterangan "Coblos pada: Foto Pasangan Calon atau Kolom Kosong Tidak Bergambar". Narasi keterangan tersebut menurut Mahkamah bukanlah merupakan suatu bentuk narasi yang utuh dan komprehensif dalam penyajian suatu pilihan.
“Mengingat tulisan/keterangan "Coblos pada: Foto Pasangan Calon atau Kolom Kosong Tidak Bergambar" tidak dilengkapi dengan narasi yang menggambarkan implikasi dari masing-masing pilihan, baik pilihan mencoblos pada foto pasangan calon, maupun pilihan mencoblos kolom kosong tidak bergambar, sehingga dapat menimbulkan mispersepsi bagi pembaca narasi keterangan tersebut, khususnya dalam hal ini bagi para pemilih tertentu, karena tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan sebuah tempat untuk menyatakan pilihan tidak setuju jika satu-satunya pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dimaksud menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah,” kata Saldi.
Memuat Pernyataan Bersyarat
Seharusnya, Saldi melanjutkan, surat suara yang digunakan pada pemilihan kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon memuat keterangan dalam bentuk pernyataan bersyarat (conditional statement) yang memuat suatu kalimat yang berisi gagasan utama dan gagasan penjelas. Keterangan "Coblos pada: Foto Pasangan Calon atau Kolom Kosong Tidak Bergambar" dalam desain surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 merupakan kalimat yang berisi 2 (dua) pilihan yang keduanya merupakan gagasan utama yang tidak dilengkapi dengan gagasan penjelas yang dapat memberikan informasi secara utuh atas dua pilihan dalam gagasan utama itu sendiri.
Mahkamah dalam pertimbangan putusannya, baik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XVII/2019 telah berpendirian bahwa kolom kosong merupakan "tempat" bagi pemilih untuk menentukan pilihannya jika tidak setuju dengan pasangan calon tunggal yang telah ditetapkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota maka narasi keterangan yang lebih tepat untuk digunakan pada surat suara dalam pemilihan kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon, misalnya adalah "Coblos Pada: Kolom yang Memuat Foto Pasangan Calon Jika Setuju atau Coblos Pada Kolom Kosong Jika Tidak Setuju Pasangan Calon Menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah". Keterangan yang demikian merupakan suatu bentuk pernyataan bersyarat (conditional statement) yang lebih tegas atau jelas, karena berisi gagasan utama, yakni pilihan untuk mencoblos kolom bergambar foto pasangan calon atau kolom kosong tidak bergambar, dan gagasan yang berisi penjelasan atas masing-masing pilihan dimaksud, yakni jika setuju atau tidak setuju pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Potensi Ketidakseimbangan Pemilih
Terhadap potensi adanya kesalahan pemahaman akibat ketiadaan informasi atau penjelasan yang utuh dalam keterangan yang dimuat pada desain surat suara untuk pemilihan kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada, menurut Mahkamah secara langsung akan berdampak pada para pemilih dalam mengambil keputusan, karena tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan sebuah tempat untuk menyatakan pilihan "tidak setuju" pasangan calon tunggal tersebut menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Akibatnya, terdapat potensi ketidakseimbangan dalam memilih. Dalam hal ini, yang lebih diuntungkan adalah pilihan yang lebih banyak memuat informasi seperti pilihan kolom yang memuat foto pasangan calon, lengkap dengan nama calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sehingga cenderung lebih menarik perhatian para pemilih.
Sementara itu, kolom kosong muncul tanpa penjelasan yang memadai karena desain surat suara nyaris tidak memuat informasi untuk memilih kolom kosong. Dalam batas penalaran yang wajar, Saldi menyebut, desain surat suara yang demikian tidak memberikan keseimbangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang demokratis, dan jauh dari asas-asas pemilu sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Diberlakukan Pada Pilkada 2029
Dalam rangka memberikan keseimbangan agar asas-asas pemilu sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945 tergambar dengan benar dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon, Mahkamah dalam hal ini tetap pada pendiriannya sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang menghendaki agar kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon kembali menggunakan model plebisit yang meminta para pemilih untuk menentukan pilihan baik "setuju" ataupun "tidak setuju" dengan pasangan calon tunggal yang ada. Sekalipun kembali kepada model plebisit sebagaimana telah digunakan dalam Pilkada Serentak Tahun 2015, model dimaksud juga tetap memberikan peluang bagi para pemantau pemilihan yang terdaftar untuk merepresentasikan para pemilih kolom "tidak setuju" dengan pasangan calon tunggal tersebut untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, pilihan dimaksud masih tetap dapat menyisakan persoalan yaitu misalnya terdapat calon pemilih yang tidak bisa atau memiliki keterbatasan baca-tulis. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang lebih intensif oleh penyelenggara agar pemilih paham arti sesungguhnya dari kata "setuju" atau "tidak setuju" dalam surat suara model plebisit dimaksud.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendirian model surat suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon perlu dikembalikan kepada model plebisit.
Namun, karena proses dan tahapan pencetakan surat suara pilkada serentak secara nasional tahun 2024 telah memasuki tahap menjelang pemungutan suara sehingga tidak memungkinkan dilaksanakan pada pilkada serentak secara nasional tahun 2024. Oleh karena itu, desain/model surat suara baru dengan model plebisit dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon dimaksud mulai diberlakukan pada Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2029.
Masa Jabatan Kepala Daerah
Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan permohonan mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada. Hal ini telah pernah dipertimbangkan dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XVII/2019 pada Sub-paragraf [3.12.2] sampai dengan Sub-paragraf [3.12.4] yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Mei 2019. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, oleh karena desain waktu pemilihan berikutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada dimaksud dirumuskan oleh pembentuk undang-undang bukan dalam model desain pilkada serentak secara nasional, waktu "pemilihan berikutnya" tersebut ditegaskan diulang kembali pada tahun berikutnya. Hal ini disebabkan norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada di samping memuat frasa "pemilihan berikutnya", juga memuat frasa "tahun berikutnya".
Oleh karena itu, Mahkamah harus memaknai keduanya secara berkelindan antara frasa "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya" dimaksud. Dalam hal ini, frasa "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya" harus dimaknai dengan tidak melepaskan hakikat pemilihan berikutnya dalam konteks keserentakan penyelenggaran pilkada serentak nasional tahun 2029 dan tidak diperbolehkannya penjabat kepala daerah atau Plt. yang menjabat terlalu lama dari pilkada serentak sebelumnya.
Sehingga, menurut Mahkamah pemaknaan frasa "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya" dalam norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada menjadi "pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pemungutan suara 27 November 2024". Meskipun demikian sebagai penyelenggara seharusnya KPU berupaya melaksanakan pemilihan berikutnya tersebut dalam waktu secepat mungkin. Hal demikian dimaksudkan agar kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih dari hasil pemilihan berikutnya tidak banyak kehilangan haknya untuk menjabat dalam periode masa jabatan sejak sejak pelantikan.
Berkaitan dengan kekhawatiran para Pemohon perihal ketiadaan ketentuan yang mengatur masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan berikutnya pasca pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan 1 (satu) pasangan calon yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan berikutnya, di mana dalam keadaan normal kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih dari pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 akan memangku jabatan selama 5 (lima) tahun. Sementara apabila dalam kondisi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dari pemilihan berikutnya yang diselenggarakan paling lambat pada tanggal 27 November 2025 tetap akan memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, maka akan berpengaruh pada keserentakan Pilkada secara nasional Tahun 2029. Menurut Mahkamah, kekhawatiran tersebut wajar dan berpotensi terjadi. Oleh karena itu, demi menjaga model keserentakan pilkada secara nasional yang telah dinilai konstitusional dalam beberapa putusan Mahkamah, perlu diterima fakta bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih karena keharusan dilakukan pilkada ulang, termasuk konsekuensi dari hasil penyelesaian sengketa di Mahkamah, harus menerima masa jabatan kurang dari 5 (lima) tahun. Dalam hal ini, masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak akan mencapai 5 (lima) tahun merupakan konsekuensi logis adanya "pemilihan berikutnya" dimaksud.
Berkenaan dengan pengurangan masa jabatan dimaksud, perlu dipikirkan perlindungan hukum bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak terpenuhi sampai dengan 5 (lima) tahun. Misalnya, perlindungan hukum dapat dilakukan dengan pemberian kompensasi sebagaimana diatur dalam I Pasal 202 UU 8/2015, atau dapat dirumuskan kompensasi dalam bentuk lain. Secara normatif, kompensasi yang demikian telah dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan dan dinilai konstitusional oleh Mahkamah (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022).
“Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, ketentuan norma Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 telah ternyata bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang demokratis, adil dan berkepastian hukum yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Namun oleh karena pemaknaan Mahkamah terhadap Pasal 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 tersebut tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon maka dalil permohonan para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Saldi.
Baca juga:
Desain Surat Suara Calon Tunggal Pilkada Dipertanyakan
Pemohon Tambah Argumentasi Uji Desain Surat Suara Calon Tunggal Pilkada
Untuk diketahui, Perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Para Pemohon memohonkan pengujian 54C ayat (2) dan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada.
Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.”
Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada menyatakan, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.”
Dalam persidangan perdana di MK pada Rabu (25/9/2024) lalu, Terence Cameron selaku kuasa hukum Para Pemohon menyatakan dengan berlakunya Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada berpotensi menyebabkan pemilih diarahkan untuk memilih pasangan calon tunggal, karena desain surat suara hanya memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar. Desain surat suara yang tidak memberikan penjelasan atas alasan dan implikasi dari pilihan tersebut, berpotensi untuk membingungkan banyak pemilih karena tidak semua pemilih mengerti bahwa kotak kosong merupakan sebuah opsi jika tidak setuju pasangan calon tunggal.
Para Pemohon juga merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), 22E ayat (1), dan 28D ayat (1) UUD NRI 1945 oleh berlakunya Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada. Berlakunya Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada berpotensi menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum dalam waktu pelaksanaan pemilihan berikutnya jika kotak kosong menang. Berlakunya Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada juga berpotensi menyebabkan pemilih didorong untuk memilih pasangan calon tunggal karena kekhawatiran jika kotak kosong menang, akan terjadi kekosongan kepala daerah definitif. Kemudian pilkada baru akan diulang pada tahun 2029, karena terdapat frasa “dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” yaitu berdasarkan UU Pilkada, Pemilihan serentak dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya memohon MK menyatakan Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar; termasuk memuat keterangan Coblos pada Kolom Foto Pasangan Calon Jika Setuju Pasangan Calon untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota atau Coblos pada Kolom Kosong Tidak Bergambar Jika Tidak Setuju Pasangan Calon menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota.”
Petitum berikutnya, memohon MK agar menyatakan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali paling lambat 1 (satu) tahun setelah penetapan perolehan suara hasil Pemilihan atau paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya sengketa perselisihan hasil Pemilihan di Mahkamah Konstitusi.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.