JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan tidak berwenang mengadili permohonan pengujian Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Kamis (14/11/2024). Permohonan diajukan Marthen Y. Siwabessy.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum Ketetapan Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo menyatakan pada Rabu 9 Oktober 2024, MK telah menggelar Sidang Panel dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Dalam persidangan, Pemohon meminta Mahkamah memberikan penafsiran secara gramatikal, historis, sosiologis, sistematis, literal, dan otentik terhadap frasa “perbuatan tercela” pada Pasal 7A UUD 1945 sehingga mendapatkan penafsiran yang komprehensif dan memenuhi asas kejelasan dan kelengkapan rumusan, sehingga mudah dimengerti dan dipahami baik oleh Pemohon maupun seluruh rakyat Indonesia termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam persidangan tersebut, Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Mahkamah juga memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Kemudian, pada Selasa, 22 Oktober 2024, Mahkamah menyelenggarakan persidangan dengan agenda Perbaikan Permohonan. Ternyata dalil-dalil permohonan Pemohon masih tetap berkenaan dengan permohonan penafsiran konstitusional terhadap frasa "perbuatan tercela" dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945.
“Terhadap permohonan a quo, oleh karena Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menafsirkan norma dalam UUD NRI Tahun 1945, in casu Pasal 7A, sementara I berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan antara lain, "Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ...". Artinya, kewenangan Mahkamah dalam menafsirkan konstitusi tidak dapat dilakukan secara langsung terhadap Undang-Undang Dasar, kecuali melalui pengujian suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Mahkamah tidak berwenang memeriksa permohonan a quo,” kata Suhartoyo dalam persidangan yang dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK.
Berdasarkan ketentuan Pasal 48A ayat (1) huruf a UU MK, menyatakan, "Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal: a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan" dan Pasal 75 ayat (1) huruf a PMK 2/2021 menyatakan, "Mahkamah menerbitkan putusan berupa Ketetapan dalam hal: a. Permohonan bukan merupakan kewenangan Mahkamah".
Baca juga:
Pemohon Perjelas Dalil Hukum Makna Perbuatan Tercela dalam Syarat Pemakzulan Presiden
Menyoal Kaburnya Makna Perbuatan Tercela dalam Syarat Pemakzulan Presiden
Sebelumnya, dalam Sidang Pendahuluan pada Rabu (9/10/2024), Marthen Y. Siwabessy selaku Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 mendalilkan frasa tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya karena ia tidak dapat menggunakan hak konstitusional untuk memberikan penilaian secara objektif terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan Presiden dan/atau Wakil Presiden akibat tidak adanya kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas dari frasa perbuatan tercela yang terdapat di dalam pasal tersebut. Terkait hal ini, Pemohon berpendapat kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus ada batasan, termasuk pula pada pemaknaan frasa “perbuatan tercela” harus memiliki kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas.
Pemohon berpendapat dengan adanya batasan yang tegas terhadap frasa “perbuatan tercela” tersebut, Presiden dan/atau Wakil Presiden akan mengerti dan mampu memahami segala perilaku dan pernyataan-pernyataan yang dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan tercela menurut konstitusi. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara serta pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara dapat terselenggara dengan lebih baik.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Tiara Agustina.