JAKARTA, HUMAS MKRI – Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Hal ini disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yance Arizona dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang digelar pada Rabu (13/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sidang ini digelar untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024 dan 101/PUU-XXII/2024. Permohonan perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Sementara Perkara 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta Titi Anggraini (Pemohon II).
Yance yang dihadirkan sebagai Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 tersebut menjelaskan bahwa dalam sejumlah putusannya, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan setidaknya 11 kriteria kebijakan hukum terbuka, antara lain tidak melanggar moralitas, tidak melanggar rasionalitas, dan tidak menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Dalam hal ambang batas pencalonan, Mahkamah telah mencermati bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip kebijakan hukum terbuka yang diizinkan oleh UUD 1945.
Kemudian, Yance mencontohkan dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2003 yang menguji ketentuan parliamentary threshold, Mahkamah menilai bahwa penetapan ambang batas sebesar 4% tidak didasarkan pada metode dan argumen yang dapat dibuktikan secara memadai, sehingga tidak memenuhi prinsip rasionalitas. Ketentuan ini juga menyebabkan disproporsionalitas suara dalam penerapan sistem pemilu proporsional, di mana banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi. Hal ini mencederai prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin dalam UUD 1945.
“Misalkan dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2003 terkait dengan pengujian ketentuan parliamentary threshold, Mahkamah menilai bahwa penentuan parliamentary threshold 4% disusun tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai dapat dibuktikan. Dan ketentuan parliamentary threshold juga menimbulkan disproporsional suara di tengah penerapan sistem pemilu proporsional. Selain itu, banyaknya suara yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi, telah mencederai prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar,” terang Yance.
Lebih lanjut, sambung Yance, terkait presidential candidacy threshold, ketentuan ambang batas sebesar 20% jumlah kursi atau 25% suara sah untuk pencalonan presiden dan wakil presiden juga dinilai tidak didasarkan pada metode dan argumen yang rasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana ketentuan tersebut dapat dianggap sebagai dasar yang tepat untuk membangun sistem presidensial yang efektif.
“Demikian pula, dalam Putusan MK Nomor 60/PUU-2022 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, Mahkamah menilai bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilihan tidak sesuai dengan prinsip pemilihan yang demokratis dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable bagi partai politik dalam mengusulkan pasangan calon kepala daerah. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, yang didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya, juga dianggap menghilangkan hak partai politik baru yang menjadi peserta pemilu legislatif serentak dengan pilpres,” urai Yance.
Keterangan PKN dan Perindo
Pada kesempatan yang sama, hadir dua partai politik sebagai pemberi keterangan, yakni Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Keduanya menilai presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945. Moin Tualeka mewakili PKN yang hadir persidangan menegaskan perolehan kursi dari paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu DPRD sebelumnya sangat bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak melindungi dan memberikan hak yang sama untuk peserta pemilu termasuk partai peserta pemilu dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara Perindo yang diwakili oleh Ferry Kurnia menyebut fakta politik yang menjadi sejarah politik hukum kita sejak misalnya Pemilu Tahun 2004, Pemilu 2009, bahkan terakhir di Pemilu 2024 kemarin ini adalah telah terjadi tarik menarik kepentingan terkait dengan ambang batas pencalonan presiden. Oleh karena itu, penentuan ambang batas ini jangan menjadi kepentingan jangka pendek dengan adanya bargaining position antarpartai, tapi ini harusnya dimaknai sebagai mekanisme yang harus kita lahirkan dalam satu kepentingan jangka panjang, termasuk bagaimana kita membangun koalisi partai politik.
“Dan saya pikir ini menjadi hal yang sangat penting bahwa biarlah partai politik mengatur koalisi itu secara alamiah dan strategis sesuai dengan kepentingan partai itu sendiri tanpa adanya hal yang memang terkait dengan penguatan-penguatan di dalam mekanisme struktural,”jelasnya.
Menurutnya, presidential threshold menghambat untuk melakukan proses pencalonan. Hal ini seharusnya mendorong konsistensi pencalonan presiden dengan konstitusi dan menghormati partai politik yang sudah bersusah payah menjadi peserta pemilu. Hal yang memang menjadi penting dalam konteks proses elektoral atau dimensi elektoralnya adalah bahwa setiap partai politik itu sama melakukan satu aktivitas proses verifikasi partai politik, baik itu verifikasi administrasi ataupun verifikasi faktual.
Baca juga:
Jelang Pilkada Serentak 2024, Ketentuan Persyaratan Calon Kepala Daerah Diuji
Pemohon Ajukan Provisi Mohon Perkara Diputus Sebelum Pencalonan Kepala Daerah
Syarat Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah Kembali Dipersoalkan
DPR dan Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang UU Pemilu
Partai Gerindra dan PKB Tolak Ambang Batas Pencalonan Presiden Diubah
Partai Buruh dan Hanura Kompak Ingin “Presidential Threshold” Diubah, Golkar Berbeda Sikap
PKS dan PBB Beda Pandangan Soal Ambang Batas Pencalonan Presiden
Sebelumnya, Pemohon perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menyatakan Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu, terkait keberadaan presidential threshold (PT) yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu. Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon sehingga hak para Pemohon untuk memilih Presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.
Sementara Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Mereka juga menjadi penggiat pemilu menganggap pengaturan ambang batas menjadikan hak mengusung calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diakses para elit pemilu yang memiliki persentase tinggi pada pemilu sebelumnya dan menutup akses bagi partai politik peserta pemilu dengan persentase rendah yang tidak ingin berkoalisi.
Kemudian, Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta perorangan Titi Anggraini (Pemohon II). Menurut para Pemohon, terdapat inkonsistensi antara tujuan pemberlakuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dengan fakta empirik di lapangan serta adanya dampak destruktif terhadap sistem presidensial yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu dimaknai menjadi, “Pasangan Calon diusulkan oleh: a. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau c. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR.” Atau para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik peserta pemilu memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan c. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan