JAKARTA, HUMAS MKRI – Sebanyak 38 mahasiswa beserta 3 dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Gunung Jati Tangerang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka kegiatan perkuliahan mata kuliah Hukum Konstitusi Teori dan Praktek, pada Rabu (13/11/2024). Kunjungan ini bertujuan memberi wawasan langsung kepada mahasiswa tentang proses persidangan di MK sekaligus menjadi referensi untuk skripsi mahasiswa. Pengalaman langsung ini diharapkan dapat menjadi bekal yang penting dalam perjalanan akademik dan profesional para mahasiswa di masa depan.
"Ini adalah kesempatan kuliah tatap muka yang berbeda, mengingat sebelumnya kuliah berlangsung secara online. Kunjungan ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa tentang hukum konstitusi di Indonesia sebagai bekal penting untuk studi dan karier mahasiswa.” ujar Rioberto Sidauruk, dosen ilmu hukum STIH Gunung Jati.
Kunjungan tersebut disambut hangat oleh Analis Hukum MK Aditya Yuniarti, di Aula Gedung 1 MK. Adit dalam sesi pemaparan menjelaskan alasan pentingnya pembentukan MK di Indonesia, meskipun sudah ada Mahkamah Agung (MA). “Kenapa perlu ada MK, padahal kita sudah punya Mahkamah Agung? Sebenarnya, ini karena kita negara hukum, dan punya banyak produk hukum serta perundang-undangan yang seharusnya melindungi hak-hak warga negara,” ujarnya.
Menurut Adit, ada beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya MK, seperti undang-undang yang sering kali bermasalah namun tidak ada mekanisme untuk constitutional review. Selain itu, pemakzulan presiden pada masa lalu bisa terjadi hanya berdasarkan alasan politik, konflik antar lembaga negara sering kali harus diselesaikan oleh presiden, tidak adanya forum yang jelas untuk sengketa hasil pemilu, serta proses pembubaran partai politik yang tidak transparan di MA.
Berikutnya Aditya menjelaskan MK merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK bersifat final dan tidak bisa diajukan banding atau upaya hukum lainnya, bahkan tidak ada upaya hukum luar biasa. Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Adit melanjutkan, MK menerapkan beberapa asas penting dalam hukum acara. Salah satunya adalah bahwa persidangan di MK terbuka untuk umum dan bebas biaya.
Selain itu, MK menerapkan asas audi et alteram partem, yang berarti hakim harus mendengar kedua belah pihak. Hakim juga aktif dalam menggali fakta persidangan dan dapat memanggil pihak-pihak lain di luar pemohon, DPR, atau pemerintah untuk memberikan keterangan yang relevan.
Adit juga menjelaskan beberapa prinsip penting dalam hukum acara MK. Salah satunya adalah ius curia novit, yang berarti pengadilan tidak boleh menolak perkara, bahkan jika kasus tersebut bukan merupakan kewenangannya. MK sering kali menerima perkara yang bukan merupakan pengujian undang-undang, dan meskipun demikian, perkara tersebut tetap diproses hingga diputuskan oleh hakim.
Adit juga ketentuan tenggang waktu untuk mengajukan permohonan uji formil dan uji materil terhadap undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). “Untuk uji formil, apabila teman-teman mau mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi ya mohon diperhatikan dan jangka waktu 45 hari dari sejak diundangkan," ujarnya, mengacu pada Putusan MK Nomor 63/PUU-XX/2022.
Setelahnya, MK memiliki waktu 60 hari kerja untuk memeriksa permohonan tersebut sejak Presiden dan/atau DPR memberikan keterangannya dalam Sidang Pleno Pemeriksaan Persidangan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 25/PUU-XX/2022. Sementara untuk uji materil, tidak ada batas waktu pengajuan maupun jangka waktu pemeriksaan di MK.
Usai pemaparan materi dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya-jawab. Setelah itu, para mahasiswa diajak untuk berkunjung ke Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) MK berada di lantai 5 dan 6 Gedung 1 MK. Puskon merupakan wahana edukasi yang mengabadikan sejarah konstitusi dan MK dengan memadukan teknologi, seni, dan informasi. Ini memberikan kesempatan bagi pengunjung dapat merasakan suasana sidang konstitusi melalui simulasi virtual.
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.