JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 151/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Dalam perbaikan permohonannya, Eric Cihanes (Pemohon I) dan Garin Arian Reswara (Pemohon II) menguraikan komparasi mengenai pengaturan kewajiban penunjukan Pejabat/Petugas Perlindungan Data Pribadi (PPDP) atau dikenal dengan Mandatory Appointment of Data Protection Officer (DPO) di beberapa negara serta perbandingan ke negara-negara Uni Eropa yang tunduk pada regulasi terkait General Data Protection Regulation (GDPR).
“Baik dari perbandingan negara ataupun ke instrumen GDPR opsinya hanya dua, jika tidak menggunakan kata or maka dia mewajibkan seluruh pengendali data untuk melakukan penunjukan PPDP sehingga scope-nya lebih jelas,” ujar Eric dalam sidang perbaikan permohonan pada Selasa (12/11/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Negara-negara yang dimaksud antara lain Singapura, Thailand, Malaysia, dan Korea. Dari keempat negara itu, hanya Thailand yang merumuskan aturan dengan menggunakan kata “or” sehingga kriteria syarat penunjukan PPDP di PDP Act Thailand dirumuskan secara alternatif. Sedangkan, Singapura, Malaysia, dan Korea mewajibkan setiap pengendali data menunjuk PPDP-nya untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan PDP.
Sementara itu, kata Para Pemohon, sejak diundangkan pada 2016, GDPR telah menjadi gold standart dalam pengaturan PDP di banyak negara selain negara anggota Uni Eropa, termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak pasal di dalam UU PDP milik Indonesia yang memiliki tingkat kemiripan dengan GDPR, termasuk Pasal 53 ayat (1) UU PDP yang sedang diuji konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo.
Namun, pengaturan mengenai kewajiban untuk melakukan penunjukan DPO/PPDP dalam GDPR diatur menggunakan kata “or” yang artinya “atau” sehingga kriteria syarat penunjukan DPO/PPDP GDPR juga dirumuskan secara alternatif. Sedangkan, menurut para Pemohon, kriteria syarat Pasal 53 ayat (1) UU PDP dapat dipenuhi secara alternatif maupun kumulatif.
Karena itu, mereka memohon untuk mengubah kata “dan” menjadi “dan/atau” dalam rumusan Pasal 53 ayat (1) UU PDP demi memperluas cakupan organisasi pengendali data dan prosesor data yang wajib untuk menunjuk PPDP. Sebab, menurut Pemohon, kehadiran PPDP yang makin luas terutama terhadap pengendali data dan prosesor data yang melakukan pemrosesan data pribadi yang berisiko tinggi tentunya berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan pengendali data dan prosesor data tersebut terhadap kewajibannya yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat pelindungan dan jaminan terhak hak-hak konstitusional dan subjek data.
Namun di sisi lain, Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani menyoroti ketidakhadiran Pemohon II dalam sidang hari ini. Sebab, dalam permohonan ini tidak disebutkan bahwa Pemohon I dapat hadir sendiri dan telah menerima kuasa untuk mewakili Pemohon II dalam persidangan.
Baca juga: Warga Negara Uji UU Pelindungan Data Pribadi
Sebagai informasi, dalam sidang pendahuluan yang lalu, para Pemohon telah menjelaskan permohonannya mempersoalkan kata “dan” pada akhir kalimat butir b dalam Pasal 53 ayat (1) UU PDP terkait ketentuan kewajiban pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi menunjuk pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi pelindungan data pribadi (PPDP). Pasal 53 ayat (1) UU PDP selengkapnya berbunyi, “Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi wajib menunjuk pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi dalam hal: (a) pemrosesan Data Pribadi untuk kepentingan pelayanan publik; (b) kegiatan inti Pengendali Data Pribadi memiliki sifat, ruang lingkup, dan/atau tujuan yang memerlukan pemantauan secara teratur dan sistematis atas Data Pribadi dengan skala besar; dan (c) kegiatan inti Pengendali Data Pribadi terdiri dari pemrosesan Data Pribadi dalam skala besar untuk Data Pribadi yang bersifat spesifik dan/atau Data Pribadi yang berkaitan dengan tindak pidana.”
Menurut para Pemohon, kriteria penunjukan PPDP yang dirumuskan secara kumulatif tersebut telah mempersempit cakupan dari organisasi pengendali data dan prosesor data yang diwajibkan melakukan penunjukkan PPDP. Dalam hal ini, kata para Pemohon, organisasi pengendali data dan prosesor data yang hanya memenuhi salah satu atau dua dari ketiga syarat dalam Pasal 53 ayat (1) UU PDP menjadi tidak diwajibkan untuk menunjuk PPDP. Padahal, masing-masing kriteria dalam setiap butir pada pasal a quo merupakan kriteria aktivitas pemrosesan data pribadi yang dikategorikan sebagai pemrosesan data pribadi yang memiliki potensi risiko tinggi terhadap subjek data pribadi yang juga ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (2) UU PDP.
Kehadiran PPDP memegang peran yang sangat esensial dalam menjamin terlaksananya pelindungan data pribadi, di mana PPDP hadir melakukan pengawasan terhadap kepatuhan sebuah organisasi Pengendali Data dan/atau Prosesor Data sepanjang berkaitan dengan pelindungan data pribadi berdasarkan UU PDP terutama dalam hal kepatuhan terhadap kewajibannya. Selan itu, kaidah kewajiban tersebut tentunya diikuti dengan pengaturan sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut, instrumen sanksi yang dalam hal ini digunakan untuk mendorong kepatuhan terhadap kewajiban penunjukan PPDP dalam norma pasal a quo.
Dengan demikian, penggunaan kata “dan” dalam merumuskan rincian syarat dalam pasal 53 ayat (1) UU PDP telah membatasi kewajiban penunjukan PPDP hanya untuk organisasi Pengendali Data dan Prosesor Data yang memenuhi semua kriteria secara kumulatif secara bersamaan. Sehingga, ini menurunkan kedayagunaan Pasal tersebut yang berisikan norma kewajiban dan juga kaitan dengan Pasal 57 UU PDP yang merupakan norma sanksi apabila melanggar norma kewajiban dalam Pasal 53 ayat (1) UU PDP.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 53 ayat (1) UU PDP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dan” tidak dimaknai dengan “dan/atau”.
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan