JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XXII/2024 menghadirkan dua ahli untuk menyampaikan keterangan dalam sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK/ UU P2SK). Kedua ahli itu antara lain Pakar Hukum Zulkarnain Sitompul dan Pakar Hukum Tata Negara Indra Perwira yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta pada Selasa (12/11/2024).
Zulkarnain yang juga pernah menjabat Deputi Komisioner Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan ketentuan persetujuan Menteri Keuangan (Menkeu) atas Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Lembaga Penjamin Simpanan (RKAT LPS) merupakan bentuk campur tangan yang tidak memenuhi dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing) mengingat anggaran yang dipergunakan LPS tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Zulkarnain, alih-alih memperkuat akuntabilitas LPS, ketentuan tersebut justru menimbulkan efek kontra produktif terhadap independensi LPS dan pada akhirnya akan menurunkan kepercayaan nasabah terhadap simpanannya di bank dan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan.
“Padahal untuk LPS itu sudah disediakan perlengkapan untuk pengawasannya sehingga independensinya juga dilengkapi dengan akuntabilitas yang cukup seperti laporan secara berkala ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan LPS juga memiliki Dewan Supervisi yang merupakan perpanjangan tangan DPR untuk mengawasi kegiatan LPS sehari-hari dan juga laporan keuangan LPS itu diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” ujar Zulkarnain.
Zulkarnain menilai LPS sepatutnya memiliki independensi baik dalam hal menjalankan kewenangan maupun dalam hal mengatur anggarannya sendiri. Beberapa negara yang mengikutsertakan Menkeu dalam mengawasi LPS pun tidak sampai masuk terlalu jauh kepada persetujuan anggaran LPS, seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Amerika Serikat. Intervensi anggaran LPS oleh Kementerian Keuangan dalam proses ini tidak sejalan dengan independensi LPS sebagaimana yang diatur dalam UU P2SK itu sendiri.
Tanpa adanya persetujuan Menkeu atas RKAT LPS sekalipun, mekanisme akuntabilitas dan transparansi saat ini sejatinya sudah memadai karena menerapkan mekanisme pengawasan berlapis antara lain pelaporan kinerja kelembagaan per triwulan dan per tahun kepada Presiden dan DPR, penyampaian informasi kepada publik menyangkut pelaksanaan kebijakan LPS tahun ke belakang dan rencana kebijakan tahun mendatang, pelaporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR, penyampaian informasi kepada publik menyangkut pelaksanaan kebijakan LPS tahun ke belakang dan rencana kebijakan tahun mendatang, pelaporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR serta BPK, keberadaan satu orang perwakilan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan di dalam komposisi DK LPS, dan keberadaan Badan Supervisi LPS yang antara lain berwenang menerima tembusan laporan keuangan tahunan LPS dan melakukan telaah atas anggaran operasional LPS dan meminta penjelasan dan tanggapan LPS atas hasil telaahan Badan Supervisi dimaksud.
“Oleh sebab itu, ketentuan persetujuan Menteri Keuangan atas RKAT LPS merupakan bentuk campur tangan yang tidak memenuhi dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing) mengingat anggaran yang dipergunakan LPS tidak bersumber dari APBN,” kata Zulkarnain.
Sementara itu, Indra Perwira mengatakan keberadaan ketentuan persetujuan Menkeu dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran operasional LPS merupakan sebuah isu konstitusional yang apabila tidak diluruskan akan menimbulkan pelanggaran hak konstitusional para nasabah bank. Meski tidak ada norma konstitusional yang secara eksplisit dan langsung mengatur mengenai independensi LPS, bahkan keberadaan LPS dalam UUD 1945, bukan berarti pengaturan kelembagaan atas fungsi penjaminan simpanan nasabah bank dan penanganan/penyelesaian bank gagal tidak mengandung isu konstitusional.
“Persoalan ini bukan sebuah persoalan pilihan desain semata yang terlepas bagaimana pun pembentuk undang-undang mengatur, tidak akan berpengaruh pada perlindungan hak konstitusional nasabah bank,” kata Indra.
Di sisi lain, para hakim konstitusi mempertanyakan kaitan persetujuan Menkeu atas anggaran suatu lembaga dengan independensi lembaga tersebut. Bahkan, kata Hakim Konstitusi Arsul Sani, anggaran MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi pun bukan hanya disetujui bahkan ditentukan Menkeu, tetapi dia menegaskan hal itu tidak mengganggu independensinya sebagai hakim di MK.
Wakil Ketua MK Saldi Isra juga mempertanyakan hal serupa. Dia meminta penjelasan Ahli Pemohon mengenai fungsi Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara yang punya otoritas tinggi soal fiskal yang juga menjadi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam kaitannya dengan adanya persetujuan Menkeu terhadap RKAT LPS. KSSK beranggotakan Menkeu, Gubernur Bank Indonesia, Ketua DK Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta DK LPS.
Baca juga:
Dosen dan Mahasiswa Persoalkan Intervensi Politik Kepada LPS
Sidang Pengujian UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Ditunda
Pemerintah Jamin Independensi LPS Meski Ada Persetujuan Menkeu
BI dan OJK Belum Siap, Sidang Uji UU P2SK Ditunda
Bank Indonesia Jelaskan Perbedaan PLJP dengan Penempatan Dana LPS
Sebagai informasi, dua orang dosen dan satu mahasiswa mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua dosen dimaksud yaitu Giri Ahmad Taufik (Pemohon I) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Djuanda, Bogor dan Wicaksana Dramanda (Pemohon II) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Bandung. Selain itu, mahasiswa yang menjadi Pemohon perkara ini bernama Mario Angkawidjaja (Pemohon III) yang juga menjadi nasabah Bank Perkreditan Rakyat Nusantara Bona Pasogit (NBP) 31 Jatinangor.
Para Pemohon mengaku memiliki potensi kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 6, Pasal 276 angka 13 UU P2SK. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 angka 6 yang memberikan wewenang bagi LPS untuk dapat melakukan penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari OJK berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlap) kewenangan dengan BI sebagai lender of last resort.
Apalagi kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda yang lebih mudah, dalam hal ini tidak memenuhi Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan prinsip Syariah yang dipunyai BI. Akibat ketidakjelasan dan tumpang tindih ini, maka timbul potensi membebani LPS, dalam hal ini menurunkan kemampuan LPS dan mengarah pada gagalnya LPS untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjamin simpanan nasabah yang merupakan bentuk perlindungan terhadap simpanan para Pemohon.
Selain itu, menurut para Pemohon intervensi pemerintah dalam bentuk persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS dalam pasal a quo menimbulkan keraguan yang sah pada sisi nasabah mengenai kepastian hukum bahwa LPS akan melaksanakan kewenangannya secara profesional dan berdasarkan expertise semata, tanpa campur tangan politik. Meskipun independensi memiliki batas akuntabilitas, tetapi kewenangan persetujuan Menteri Keuangan pada ketentuan a quo tidak memiliki dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing).
Dari sisi kebutuhan dan keseimbangan, ketentuan yang sangat intervensionis pada perencanaan kerja dan keuangan untuk kegiatan operasional LPS tidak memiliki alasan yang kuat, menimbang desain kelembagaan LPS yang dipimpin secara kolektif kolegial oleh seluruh anggota Dewan Komisioner, di mana seluruh keputusan LPS harus 33/48 diambil melalui proses musyawarah untuk mufakat (vide Pasal 7 angka 46 UU P2SK yang mengubah Pasal 72 ayat (1) UU No. 24/2004).
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 57 UU P2SK yang mengubah Pasal 86 ayat (4) sepanjang frasa “untuk mendapat persetujuan”, Pasal 86 ayat (6), dan Pasal 86 ayat (7) huruf a sepanjang frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” pada UU 24/2004 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 6 dan Pasal 276 angka 13 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.