JAKARTA, HUMAS MKRI - Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) bersama dua orang advokat menguji Pasal 308 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7) dan (8) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon Perkara Nomor 156/PUU-XXII/2024 ini mengatakan hak konstitusionalnya telah dirugikan karena berlakunya frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304” dalam norma tersebut.
Menurut para Pemohon, ketentuan norma yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi, “Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.” Kemudian Pasal 308 ayat (2) UU Kesehatan menyatakan, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai pertanggungiawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang merugikan Pasien secara perdata, harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.”
Sementara, Pasal 304 berisi ketentuan penerapan penegakan disiplin profesi dalam rangka mendukung profesionalitas tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menteri membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi. Majelis dimaksud bersifat permanen atau ad hoc yang menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Majelis yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo tersebut lembaga bernama Majelis Disiplin Profesi (MDP) bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dalam tugas dan fungsi MDP terkait dengan persoalan etik semata dan tidak mempunyai kewenangan atau kapasitas untuk menilai ada tidaknya pelanggaran hukum baik secara pidana maupun perdata. Menurut para Pemohon, tidak tepat apabila majelis etik serta-merta diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan memeriksa terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan pidana atau perdata.
Jika MDP tidak serta-merta dapat dipersamakan dengan lembaga penegak hukum dalam arti formal yang mempunyai kewenangan pro justitia sehingga harus menerapkan due process of law, termasuk menerapkan asas presumption of innocence, karena MDP merupakan lembaga penegak disiplin dalam profesi di bidang medis dan kesehatan, yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam penerapan disiplin ilmu yang dimiliki masing-masing profesi tersebut. Karena itu, proses yang dilakukan MDP lebih berfokus pada due process of ethics dan due process of discipline daripada due process of law.
Para Pemohon mengatakan adanya perlakuan yang berbeda terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam penegakan hukum tidak dapat dibenarkan dan jelas melanggar konstitusi sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan haruslah diberlakukan sama dihadapan hukum sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Bahwa keharusan dan persyaratan adanya persetujuan majelis bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan. Upaya hukum pidana dan perdata disyaratkan terlebih dahulu. mendapatkan rekomendasi dari majelis yang dapat mengakibatkan proses peradilan menjadi berlarut larut yang menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Saldi menegaskan MK bukan badan peradilan yang menilai perkara konkret karena putusannya bukan saja berlaku bagi Pemohon, melainkan juga untuk seluruh warga negara karena putusan MK bersifat erga omnes yang berarti terhadap semua orang.
“Kita nih Mahkamah tidak menjawab kasus konkret yang dihadapi oleh Pemohon, kalau kasus konkret lain jalurnya, tempatnya lain. Kita ini menguji norma. Jadi kalau misalnya permohonan ini dikabulkan itu tidak hanya berlaku terhadap Pemohon, berlaku terhadap yang lain juga. Jadi Mahkamah akan mempertimbangkan juga kepentingan-kepentingan yang lain,” tutur Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan yang telah diperbaiki paling lambat harus diterima MK pada Senin, 25 November 2024. Sidang selanjutnya untuk perbaikan permohonan akan diberitahukan kemudian.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan