JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 150/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonannya mengenai pengujian materi Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Dalam hal ini mengenai ketentuan larangan advokat memegang jabatan sebagai pegawai negeri sipil atau pejabat negara. Para Pemohon yang terdiri dari dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) ini memperbaiki batu uji atau dasar pengujian serta petitum permohonannya.
“Mengenai pokok-pokoknya langsung ke batu ujinya terhadap hal-hal yang menjadi concern atau perhatian dalam pengujian ini,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Mario Ari Leonard Barus dalam sidang perbaikan permohonan pada Senin (11/11/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon mengeluarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dari daftar batu uji dalam permohonan ini. Sementara para Pemohon memasukkan Pasal 28C ayat (3) UUD NRI 1945 menjadi dasar pengujian dalam permohonannya.
Di samping itu, para Pemohon juga memperbaiki petitumnya yang terdapat lima poin. Pada pokoknya, para Pemohon meminta aturan larangan advokat memegang jabatan lain dikecualikan bagi pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional dosen. Dalam petitum sebelumnya, para Pemohon memasukkan frasa “… dengan jabatan fungsional yang bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi negeri” dalam pemaknaan Pasal 4 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) UU Advokat.
Baca juga:
Menyoal Larangan Dosen PNS Jadi Advokat
Sebagai informasi, para Pemohon mengaku mengalami kerugian hak konstitusional akibat berlakunya pasal-pasal a quo yang menyatakan advokat harus memenuhi persyaratan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara dan dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
“Sebenarnya ini merupakan curhatan dari para dosen PNS (Pegawai Negeri Sipil) fungsional yang ingin menjadi advokat tapi terhalang karena ada syarat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003,” ujar kuasa hukum para Pemohon Mario Ari Leonard Barus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (29/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Larangan dosen PNS fungsional untuk menjadi advokat sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal a quo membatasi kesempatan dosen PNS fungsional untuk meningkatkan kualitas dirinya. Padahal, dosen adalah ujung tombak dari pengembangan hukum di Indonesia, sebab melalui merekalah hukum disebarluaskan. Dengan demikian, pengembangan diri seorang dosen berbanding lurus dengan kualitas ilmu yang dapat diajarkannya kepada mahasiswanya.
Para Pemohon terdiri dari dua dosen FH UI Djarot Dimas Achmad Andaru (Pemohon I) dan Ahmad Madison (Pemohon II) serta mahasiswa FH UI Salsabilla Usman Patamani (Pemohon III). Akibat pasal-pasal a quo, Pemohon I sebagai dosen calon PNS fungsional dan Pemohon II sebagai dosen PNS fungsional tidak bisa berprofesi sebagai advokat. Padahal Pemohon sudah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat dan siap dilantik menjadi advokat. Hak konstitusional Pemohon untuk mengembangkan kompetensi dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya di bidang hukum menjadi dirugikan secara aktual karena tidak bisa menjadi dosen PNS fungsional sekaligus advokat akibat pasal-pasal a quo.
Sementara Pemohon III selaku mahasiswa akan memperoleh pendidikan hukum dari dosen PNS fungsional yang tidak bisa menjadi advokat. Padahal, menurut dia, dosen PNS fungsional yang bisa sekaligus menjadi advokat akan lebih memberikan pendidikan hukum yang berkualitas daripada dosen PNS fungsional yang tidak menjadi advokat. Sehingga Pemohon III mengatakan kehilangan kesempatan yang berakibat hak konstitusionalnya dirugikan secara aktual karena perguruan tinggi negeri di tempat kuliahnya akan menyediakan dosen PNS fungsional yang tidak memiliki pengalaman aktual di bidang hukum yang diajarkannya karena tidak bisa menjadi advokat akibat pasal-pasal a quo.
Para Pemohon mengatakan seorang advokat yang dapat beracara di persidangan sangat diperlukan bagi seorang dosen hukum. Hal ini karena beracara di persidangan memberikan pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan hukum di dunia nyata, pengalaman berinteraksi langsung berbeda dengan hanya melakukan penelitian hukum karena dalam konteks penelitian, dosen tidak menjadi pihak yang langsung (garda terdepan) dalam menangani perkara hukum serta bagaimana pengaplikasian hukum dalam masyarakat.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.