JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang untuk menguji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang mengatur Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (7/11/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang ini mengagendakan Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 153/PUU-XXII/2024 yang diajukan Muhammad Subhan Karantu, seorang pegawai swasta.
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, kuasa Pemohon, Muhammad Qabul Nusantara, menyampaikan kekhawatiran Pemohon terkait potensi terjadinya pemerintahan yang dipimpin oleh Penjabat (PJ) kepala daerah dalam waktu lama, bahkan hingga lima tahun. Kekhawatiran ini berakar pada Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada yang membuka dua opsi jika kotak kosong menang, pemilihan ulang pada tahun berikutnya atau pelaksanaan pemilihan sesuai jadwal dalam peraturan perundang-undangan. Frasa “atau” pada pasal tersebut memberikan pilihan yang memungkinkan penundaan pemilihan ulang hingga jadwal Pilkada serentak lima tahunan.
“Pemohon menguji frasa ‘atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan’ dalam Pasal 54D ayat (3) UU 10 Tahun 2016, yang berbunyi lengkap: ‘Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan,’” jelasnya.
Pemohon merupakan seorang pemilih terdaftar di Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara. Pilkada di wilayahnya hanya diikuti satu pasangan calon melawan kotak kosong.
Pemohon menyoroti bahwa opsi kedua menciptakan ketidakpastian, karena Pilkada ulang dapat ditunda hingga jadwal reguler yang saat ini diadakan setiap lima tahun. Dalam skenario ini, wilayah Pemohon akan dipimpin oleh Pj kepala daerah untuk waktu yang panjang, menyerupai masa jabatan kepala daerah definitif. Pemohon berpendapat bahwa ketidakpastian ini mengaburkan perbedaan antara kepala daerah definitif dan Pj kepala daerah dalam hal durasi jabatan, yang pada akhirnya merugikan hak konstitusionalnya untuk memilih pemimpin daerah secara demokratis.
Ketika calon tunggal kalah melawan kotak kosong, maka Pilkada harus diulang sesuai ketentuan Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada. Dalam pandangan Pemohon, frasa “atau dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” memberikan fleksibilitas berlebih kepada DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, yang dapat memilih antara mengulang Pilkada satu tahun kemudian atau menundanya hingga jadwal Pilkada Serentak lima tahunan.
Atas dasar itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa frasa “dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan agar frasa tersebut dicabut atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan Pemohon untuk menampilkan bukti terkait dengan kedudukan hukum Pemohon (legal standing). “Saudara sudah menjelaskan di permohonan bahwa yang memiliki hak memilih sebagai pemilih untuk tahun 2024 ini, nanti coba tampilkan juga bukti misalnya di P-3 dan DPT P-4 nya. Sehingga itu memperkuat selain sebagai warga negara Indonesia… Kemudian, terkait dengan perihal, lebih bagus apabila dicantumkan atau dituliskan pengujian materiil,” ujarnya.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Rabu, 20 November 2024. “Berkas perbaikan permohonan baik hardcopy maupun softfcopy disampaikan paling lambat saat jam kerja,” pungkas Arief.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.