JAKARTA, HUMAS MKRI - Empat orang yang berprofesi sebagai Wakil Pialang Berjangka (WPB) mengajukan permohonan pengujian Pasal 312 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kualitas dan kompetensi Wakil Pialang Berjangka sebagai sebuah profesi menjadi tanggung jawab dari Badan Pengawan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) yang merupakan badan yang ditunjuk UU sebagai Pembina dan Pengawas jalannya perdagangan berjangka komoditi.
Para Pemohon Perkara Nomor 155/PUU-XXII/2024 ini menjelaskan Pasal 312 ayat (2) UU P2SK memuat ketentuan eksplisit yang mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai peralihan kewenangan dari BAPPEBTI ke OJK paling lambat enam bulan setelah UU tersebut diundangkan. Namun, pemerintah hingga saat ini belum memenuhi perintah undang-undang tersebut.
Menurut para Pemohon, kegagalan ini telah menciptakan kekosongan hukum yang berakibat serius terhadap kepastian hukum, stabilitas, dan perlindungan hak konstitusional WPB. Khususnya dalam memperoleh jaminan, pengakuan, dan perlindungan hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Bagaimana menghadapi tantangan dalam pengembangan inovasi dalam perdagangan pialang berjangka yang sampai saat ini masih juga memiliki konflik, namun terhadap peralihan ini menimbulkan pertanyaan dan kerugian bagi para user yang ada di sini khususnya mengenai peralihan kewenangan ini," ujar kuasa hukum para Pemohon, Bagas Alkautsar, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 155/PUU-XXII/2024 pada Kamis (7/11/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon mengatakan substansi yang diatur dalam Pasal 312 mengenai peralihan kewenangan tanpa pedoman transisi yang memadai mengakibatkan ketidakpastian di tingkat implementasi. Hal ini bertentangan dengan asas kejelasan tujuan karena UU P2SK seharusnya mampu memberikan arah yang jelas bagi seluruh pihak yang terdampak, termasuk WPB, pelaku usaha, dan nasabah untuk mendukung penguatan sektor keuangan.
Dengan kurangnya keterlibatan pihak yang terdampak, seperti WPB dan pelaku usaha lainnya, pembentukan UU P2SK menunjukkan kekurangan dalam mengakomodasi masukan, yang pada akhirnya berdampak pada ketidakcocokan antara tujuan awal undang-undang dan kebutuhan nyata di lapangan. Menurut para Pemohon, BAPPEBTI sebagai lembaga pengawas di bawah Kementerian Perdagangan telah menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian izin serta sertifikasi Wakil Pialang Berjangka dengan ketentuan yang komprehensif dan sesuai standar internasional.
Pengawasan ini dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur secara rinci dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan BAPPEBTI, seperti Peraturan Kepala BAPPEBTI Nomor 9 Tahun 2022 tentang Izin Wakil Pialang Berjangka dan Peraturan Kepala BAPPEBTI Nomor 4 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Uji Kompetensi WPB. Prosedur ini meliputi uji kompetensi, audit berkala, pengawasan dana segregated account, dan sistem pelaporan yang memastikan perlindungan dana nasabah dan profesionalisme WPB.
Para Pemohon menyebutkan keahlian dan pengalaman BAPPEBTI dalam mengawasi perdagangan berjangka komoditi dan mengelola proses perizinan WPB secara langsung telah memberi jaminan kepastian hukum dan stabilitas bagi seluruh pelaku usaha di sektor ini. Pengawasan yang dipegang BAPPEBTIselama ini juga berfungsi untuk melindungi hak-hak nasabah dan menjaga integritas pasar berjangka komoditi, sehingga peralihan kewenangan ini menimbulkan ketidakpastian dalam pengaturan serta menurunkan tingkat kepercayaan publik.
Selanjutnya, ketidakjelasan mekanisme transisi, khususnya dalam pengawasan OJK terhadap WPB pasca-berlakunya Pasal 312 UU P2SK mengakibatkan kekosongan hukum dalam tata cara pengawasan, uji kompetensi, dan perlindungan hak-hak nasabah. Pengalihan ini tidak disertai pedoman yang rinci, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WPB serta pelaku usaha lainnya.
Ketiadaan pedoman yang pasti mengenai pengawasan WPB di OJK dapat mengancam kepastian hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, para Pemohon mengajukan permohonan agar kewenangan pengawasan dan perizinan WPB tetap berada di bawah BAPPEBTI, untuk menjamin kepastian hukum, stabilitas pasar, serta perlindungan hak-hak nasabah dan WPB.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 312 UU P2SK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Empat Pemohon perkara ini, yakni Yuli Puspitasari, Yuli Eni Kusrini, Rinaldi Andreas, dan Udibowo Ciptomulyono.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Menurut Enny, petitum yang disampaikan para Pemohon tidak lazim serta terdapat kekeliruan mengutip frasa dalam ketentuan norma pasal yang diuji yang diminta para Pemohon untuk dimaknai MK.
Selain itu, Arsul menyebutkan dalam membuat permohonan seharusnya diingat prinsip "yang paling penting dipahami hakim" bukan "yang paling penting saya paham". Sebab, permohonan ini tentunya akan dibaca, diperiksa, hingga diputus hakim konstitusi.
"Jadi, Anda harus bayangkan bahwa kalau bukan saya yang buat, tapi saya baca itu saya langsung paham," tutur Arsul.
Kemudian, Saldi mengatakan para Pemohon belum menguraikan penjelasan pertentangan norma yang diuji dengan norma dalam UUD yang menjadi batu uji atau dasar pengujian dalam permohonan ini. Padahal para Pemohon dapat menjelaskan pertentangan itu dengan teori, perbandingan, atau lainnya.
Sebelum menutup persidangan, Saldi menyatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan dimaksud paling lambat harus diterima MK pada Rabu, 20 November 2024. Sidang selanjutnya akan ditentukan MK.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan