JAKARTA, HUMAS MKRI - Anggota Komisi III DPR RI M Nasir Djamil mengatakan dihapusnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) merupakan bagian dari penataan struktur manajemen ASN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, sehingga perubahan ini disebut sebagai perubahan struktur dengan desain. Hal ini disampaikannya dalam sidang uji materiil Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dengan demikian, dihilangkannya keberadaan KASN dalam manajemen ASN berdasarkan Undang-Undang ASN, tidak berarti menghapus tugas dan fungsi yang selama ini diberikan pada KASN, melainkan dipindahkan kepada suatu kementerian atau badan dengan tugas dan fungsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU ASN," ujar Nasir melalui daring dalam sidang Perkara Nomor 121/PUU-XXII/2024 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden pada Kamis (7/11/2024).
Nasir melanjutkan, dihilangkannya keberadaan KASN dalam manajemen ASN berdasarkan Undang-Undang ASN, tidak berarti menghapus tugas dan fungsi yang selama ini diberikan pada KASN, melainkan dipindahkan kepada suatu kementerian atau badan dengan tugas dan fungsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU ASN. Penghapusan KASN dan pengalihan tugas dan fungsinya ke kementerian, merupakan bagian dari perbaikan sistem birokrasi dan pengaturannya dalam UU ASN merupakan bentuk implementasi ketentuan Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Selain itu, Nasir mengeklaim meskipun UU 5/2014 telah diganti dengan UU ASN dan KASN dihapus, pengawasan sistem merit, asas, serta kode etik dan perilaku ASN tetap dilakukan. Pengawasan atas netralitas ASN pun tetap dilakukan oleh Pemerintah bahkan dengan melibatkan masyarakat.
Di samping itu, Nasir mengatakan jenis pelanggaran dan sanksi netralitas ASN selama proses penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) terus disosialisasikan oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Sebagai contoh adanya press release BKN terkait jenis pelanggaran dan sanksi netralitas ASN selama Pemilu 2024 pada 2 Februari 2024 lalu. Setiap laporan dugaan pelanggaran tersebut kemudian diproses oleh kementerian/lembaga yang masuk dalam satuan tugas (satgas), netralitas ASN yakni BKN, Kementerian PAN RB, Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, dan KASN.
"Kekhawatiran para Pemohon atas ketidaknetralan ASN dalam kontestasi pemilihan umum yang pada gilirannya akan menghasilkan ASN yang tidak profesional, tidak berintegritas, dan tidak memegang prinsip meritokrasi, tentunya menjadi hal yang tidak diinginkan. Tidak hanya oleh Para Pemohon, namun sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, pengawasan netralitas ASN tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini BKN. Tetapi juga melalui partisipasi masyarakat untuk menyampaikan laporan apabila ditemukan adanya kegiatan yang mengindikasikan ketidaknetralan ASN dalam pelaksanaan pemilihan umum maupun pilkada," kata Nasir.
Kemudian, menurut Nasir, untuk menjaga profesionalisme, integritas, dan keteguhan dalam memegang prinsip meritokrasi ASN tentu harus dilakukan secara bersama-sama, yang tentunya dengan adanya keterlibatan masyarakat secara luas termasuk para Pemohon. Dari laporan-laporan tersebut, pemeriksaan akan dilakukan oleh tim untuk memverifikasi dan kemudian dijatuhkan sanksi terhadap ASN tersebut apabila benar terbukti melakukan pelanggaran.
Di samping itu, DPR menyatakan dihapusnya KASN dan pengalihan tugas dan fungsinya ke kementerian jelas bukan merupakan bentuk kemunduran pelaksanaan reformasi birokrasi. Sebaliknya, hal ini merupakan bagian dari upaya percepatan penataan manajemen ASN yang mampu mendukung pelaksanaan program pembangunan nasional menuju Indonesia Emas Tahun 2045 di tengah berbagai tantangan pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
Apabila memperhatikan konstruksi petitum para Pemohon terkait dengan inkonstitusional bersyarat Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN, DPR menyampaikan perbedaan antara merit dengan sistem merit dan definisi sistem merit pada Pasal 1 angka 12 dan Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN. Sebagai suatu sistem, tentunya ada komponen-komponen yang menunjang sistem tersebut, di antaranya asas, nilai dasar, serta kode etik, dan kode perilaku ASN yang diatur dalam Bab II UU ASN.
Dengan demikian, Nasir melanjutkan, petitum para Pemohon yang meminta mengenai komponen-komponen tersebut dimuat kembali, justru akan menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum atas pengaturan dalam UU ASN dan sistem merit itu sendiri. Oleh karenanya, konstruktif petitum para Pemohon yang pada intinya meminta agar ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN ditambahkan mengenai asas, nilai dasar, serta kode etik, dan kode perilaku ASN, hal tersebut akan membuat rumusan ketentuan a quo menjadi tidak sesuai dengan teknik penulisan peraturan perundang-undangan dan memiliki pemaknaan yang berlebihan karena hal dimintakan para Pemohon tersebut merupakan bagian dari sistem merit.
"Dengan demikian, apa yang dimohon oleh para Pemohon sudah sewajarnya untuk ditolak karena tidak berdasar menurut hukum dan hanya sekadar bentuk kekhawatiran para Pemohon semata," kata Nasir.
Sementara, Presiden/Pemerintah dalam sidang hari ini menyatakan belum siap menyampaikan keterangannya. MK menunda persidangan untuk keterangan Pemerintah pada Selasa, 3 Desember 2024, pukul 10.30 WIB. Di sisi lain, Ketua MK Suhartoyo mengatakan MK akan menghadirkan KASN atau setidak-tidaknya yang pernah menjadi pejabat pada waktu itu, Prof. Sofyan Effendi dan Prof. Dr. Agus Pramusinto.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Pengawasan Sistem Merit KASN dalam UU ASN
Para Pemohon Perkuat Dalil Konstitusional Hilangnya Pengawasan Sistem Merit KASN
Sebagai informasi, perkara ini diajukan para Pemohon antara lain Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar materi muatan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kementerian dan/atau lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang: …. d. pengawasan penerapan Sistem Merit, asas, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN“.
Selain itu, menyatakan materi muatan Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Komisi Aparatur Sipil Negara tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d“.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina