JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan permohonan perkara yang diajukan Djohansjah Marzoeki, seorang dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga, pada Selasa (5/11/2024) di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK. Sidang keempat untuk Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 ihwal pengujian Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ini beragenda Mendengar Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pihak Terkait.
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil dalam pesidangan menyatakan penempatan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar penyusunan kebijakan nasional khususnya dalam bidang kesehatan merupakan perubahan pola penetapan kebijakan nasional yang tentunya menjadikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada harus mampu sesuai dengan dinamika perkembangan yang ada dan kebutuhan untuk menunjang kebijakan nasional.
“Pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan memerlukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang kesehatan antar kementerian/lembaga dan pihak terkait untuk penguatan sistem kesehatan,” ujarnya.
Menurutnya, dalil Pemohon menjadi satu kekhawatiran yang berlebihan dimana sebenarnya Pemohon dapat ikut berkontribusi di dalamnya untuk mendukung dan memastikan agar pelaksanaan perubahan pengaturan tersebut sesuai dengan kebutuhan serta memenuhi harapan dan tujuan.
Lebih lanjut Nasir Djamil mengatakan peran strategis Konsil Kedokteran Indonesia maupun Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia telah dikaji dalam Naskah Akademik. Dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia, sistem kesehatan termasuk pengelolaan sumber daya manusia kesehatan pun harus turut dibenahi. Pembenahan dan penataan lembaga-lembaga yang ada tentunya tidak dilakukan secara parsial melainkan secara menyeluruh mengingat sebuah atau suatu sistem setiap komponennya terhubung satu sama lain dan saling mempengaruhi.
Pada kesempatan yang sama, MK juga mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait yakni A. Muhammad Asrun. Dalam persidangan Asrun menyatakan Pihak Terkait mendukung Keterangan Pemerintah yang disampaikan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada 21 Oktober 2024, kecuali terhadap hal-hal yang secara tegas dibantah oleh Pihak Terkait.
Ia menerangkan Pasal 451 UU 17/2023 tidak menghapus keberadaan Kolegium yang sudah ada. Sebaliknya, Pasal 451 tersebut diadakan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi Kolegium. Adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum tersebut memungkinkan Kolegium existing untuk tetap menjalankan tugasnya hingga dibentuknya Kolegium baru sesuai Pasal 272 UU 17/2023.
Menurutnya, pengaturan Kolegium dalam UU 17/2023 berbeda dari pengaturan dalam UU 29/2004 dan UU 36/2014. Kolegium dalam UU 17/2023 difokuskan pada pengembangan ilmu dan pendidikan tenaga kesehatan secara mandiri sebagai alat kelengkapan konsil. Kolegium berdasarkan UU 17/2023 bukan dibentuk oleh organisasi profesi, tetapi dibentuk oleh kelompok ahli di bidangnya, dengan keanggotaan terdiri dari guru besar dan ahli.
“Harus dihindari penyatuan Kolegium dengan organisasi profesi, karena hal itu berpotensi menimbulkan monopoli dan bisa menyebabkan stagnasi di ranah keilmuan medis. Pemisahkan itu perlu dilakukan, karena Kolegium sebagai pusat riset dan pengembangan, yang berbeda dari organisasi profesi,” ujarnya Asrun dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi.
Sehingga, Pihak Terkait membantah dalil Pemohon atas asumsi bahwa Pasal 451 UU 17/2023 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 10/PUU-XV/2017. Putusan Mahkamah tersebut menguji ketentuan terkait sertifikasi kompetensi, kewenangan organisasi profesi, dan rangkap jabatan di KKI, yang tidak berkaitan langsung dengan ketentuan peralihan Pasal 451 UU 17/2023. Oleh karena itu, tidak relevan menghubungkan Putusan Mahkamah tersebut dengan ketentuan Pasal 451 UU 17/2023.
Baca juga:
Mempertahankan Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Dokter Bedah Plastik Perkuat Dalil Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Beda Makna Kolegium dalam UU Kesehatan dengan UU Praktik Kedokteran dan UU Tenaga Kesehatan
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 dalam pengujian materi UU Kesehatan diajukan Djohansjah Marzoeki, seorang dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga. Pemohon mengujikan Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b UU Kesehatan.
Pada Sidang Pendahuluan di MK, Selasa (27/8/2024) lalu, kuasa hukum Pemohon, Muhammad Joni mengatakan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Akibat diberlakukannya norma hukum kolegium (baru) yang termuat pada Pasal 451 UU Kesehatan, maka legalitas kolegium-kolegium yang sudah ada menjadi hilang karena dasar pengakuannya berubah menjadi tidak sah sebagai lembaga ilmiah. Selain itu, menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut menjadikan kolegium yang legitimated menjadi illegitimated dengan membuat aturan hukum yang represif, otoriterian, sewenang-wenang, tanpa ada argumentasi hukum.
Kemudian terkait dengan Pasal 421 ayat (2) huruf b, Pemohon menilai pasal tersebut telah merugikannya karena memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Seharusnya hal demikian menjadi domein profesi dan bukan domein dari pemerintah.
Sebagai lembaga ilmiah kolegium bertugas mengampu ilmu kedokteran, namun menjadi tidak berdasar apabila dinormakan sebagai alat kelengkapan pemerintah karena (akan) dikendalikan penguasa politik ataupun lembaga pemerintah. Jadi, Pemohon berkepentingan atas legitimasi kolegium yang independen dengan keberadaan dan fungsinya, yang harus mencerminkan kaidah ilmiah dan jati diri ilmu kedokteran. Pemohon berpendapat, keberadaan Kolegium sebagai academic body dan bersifat independen, maka keberadaan dan fungsinya dijamin, dihormati, dan dilindungi yang bukan menjadi bagian dari kapasitas sebagai lembaga pemerintah. Sehingga tugas, fungsi, dan wewenang Kolegium tidak konstitusional jika dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024) sebagaimana termuat pada Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan.
Dalam petitum, Pemohon antara lain meminta MK menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”. Sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.