JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 40/PUU-XXI/2023 terhadap permohonan yang diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja serta Putusan Nomor 61/PUU-XXI/2023 atas permohonan yang diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Sidang Pengucapan Putusan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini digelar pada Kamis (31/10/2024).
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah atas Putusan Nomor 40/PUU-XXI/2023, Wakil Ketua MK Saldi Isra. Bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 58 dalam Pasal 81 angka 14 UU 6/2023, khususnya ayat (2) yang menambah frasa “dan masa kerja tetap dihitung” yang membuat bias makna batal demi hukum sehingga tidak terdapat kepastian hukum tentang berubah menjadi PKWTT atau pekerja tetap. Atas hal ini Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang 6/2023 telah mengatur PKWT tidak dapat dibuat untuk semua jenis pekerjaan. Bahwa hubungan kerja berdasarkan PKWT hanya untuk pekerjaan yang jenis dan sifatnya selesai dalam waktu tertentu. Apabila batasan tersebut dilanggar, maka pekerja dengan PKWT akan menjadi PKWTT. Artinya, apabila masa percobaan diberlakukan pada pekerja PKWT, maka hal tersebut batal demi hukum.
Adanya penambahan frasa “dan masa kerja tetap dihitung” akan memberikan kepastian hukum karena menjadi konsekuensi logis dari adanya “pekerjaan tertentu” yang dibuat dengan PKWT yang tidak mensyaratkan adanya masa percobaan. Jika masa percobaan dilakukan pada pekerja PKWT, maka masa percobaan tersebut batal deni hukum namun masa kerja tetap dihitung. Sementara jika dikaitkan dengan tidak terdapat kepastian hukum untuk mengubah menjadi PKWTT, sejatinya masa kerja dihitung sejak pekerja pertama kali bekerja di perusahaan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerja atau suarat pengangkatan.
Oleh karenanya, tidak tepat jika mencampuradukkan hal yang seharusnya dipersyaratkan untuk PKWT menjadi syarat pekerjaan yang seharusnya diatur dalam PKWTT. Dengan kata lain, terhadap pekerja yang memenuhi syarat untuk dilakukan PKWT, maka berlaku syarat-syarat yang berkaitan dengan PKWT pula. Namun pada perkara ini, sambung Saldi, para Pemohon mencampuradukkan antara syarat yang seharusnya berlaku pada PKWT menjadi PKWTT. Padahal kedua hal tersebut berbeda mulai dari pembuatan perjanjian kerjanya hingga syarat berakhirnya pekerjaan tersebut. PKWT dapat berubah menjadi PKWTT jika melebihi batas waktu yang diperjanjikan dalam PKWT, baik karena alasan kesepakatan para pihak maupun alasan demi hukum.
“Adanya penambahan frasa “dan masa kerja tetap dihitung” lebih melindungi pekerja yang melaksanakan PKWT jika disyaratkan melakukan masa percobaan, karena masa kerjanya tetap dihitung. Tanpa adanya frasa tersebut akan merugikan pekerja jika terdapat pekerja PKWT yang mensyaratkan masa percobaan, maka masa percobaannya batal demi hukum. Apabila masa kerjanya tidak dihitung, hal ini akan berdampak pada jumlah kompensasi yang diterima di akhir perjanjian yang merugikan pekerja/buruh. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil permohonan para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” terang Saldi.
Lembur dengan Persetujuan Pekerja
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul Sani melanjutkan bahwa terhadap dalil mengenai ketentuan Pasal 26 ayat (1) PP 35/2021 yang memiliki kesamaan substansi dengan Pasal 78 dalam Pasal 81 angka 24 ayat (1) huruf b UU 6/2023, Mahkamah menyatakan pandangan agar perusahaan menghindari mempekerjakan pekerja melebihi dari waktu kerja. Sebab pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan pemulihan kebugarannya. Namun dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari, maka lembur yang dilaksanakan harus berdasarkan persetujuan dari pekerja/buruh. Sementara terkait waktu, maka lembur paling lama empat jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
Terkait hal ini tentang adanya perubahan waktu lembur yang diatur pada Pasal 78 dalam Pasal 81 angka 24 UU 6/2023, Mahkamah melihat hal tersebut bukan merupakan eksploitasi pekerja. Sebab pelaksanaan waktu kerja lembur telah melalui persetujuan dari pekerja yang bersangkutan. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 PP 35/2021, untuk melaksanakan waktu kerja lembur harus ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja/buruh secara tertulis dan/atau melalui media digital yang kemudian dapat dibuat dalam daftar pekerja/buruh yang bersedia kerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Selanjutnya, pengusaha pun harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.
“Menurut Mahkamah, esensi dari lembur tersebut yang biasanya dilakukan dikarenakan adanya kejadian khusus, seperti pekerjaan yang sudah mendekati waktu penyelesaian ataupun pekerjaan yang bersifat mendesak lainnya. Artinya, lembur tidak dapat dilakukan setiap saat. Selain itu, lembur yang dilakukan oleh pekerja juga tetap memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta pekerja yang melakukan lembur dibayar upahnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil permohonan para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Arsul.
Baca juga:
Menguji Aturan Batas Waktu Penundaan dan Perpanjangan Tahap Pendaftaran Bagi Calon Kepala Daerah Perseorangan
Politisi Muda Perkuat Dalil Uji Aturan Batas Waktu Tahap Pendaftaran Calon Kepala Daerah Perseorangan
Kehilangan Objek
Sementara itu terhadap Putusan Nomor 61/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan berkaitan dengan pengujian materiil Pasal 56 dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023, khususnya dengan adanya penambahan ayat (3) terkait dengan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Amar putusan tersebut menyatakan, “jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu …. ditentukan berdasarkan perjanjian kerja” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”.
“Dengan telah dikabulkannya sebagian substansi norma Pasal 56 dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023, khususnya dengan adanya penambahan ayat (3) terkait dengan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang menjadi objek permohonan a quo yang telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan maka permohonan Pemohon telah kehilangan objek,” sebut Enny. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina