JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta A. Fahrur Rozi memperbaiki permohonan Perkara Nomor 144/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Rozi menambahkan kerugian hak konstitusionalnya untuk berpartisipasi dalam pembentukan perundang-undangan dihalangi akibat pemberlakuan norma pasal tersebut.
“Mengapa merasa dirugikan atas keberlakuan norma a quo? Karena Pemohon terhalang haknya untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang materinya tidak memuat kepentingan dan/atau memiliki dampak langsung terhadap Pemohon,” ujar Rozi dalam sidang perbaikan permohonan pada Rabu (30/10/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.
Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 menyatakan, “masyakarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundangan-Undangan.” Ketentuan subjek partisipasi tersebut diatur juga pada bagian Penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 yang menyatakan, “yang dimaksud dengan “kelompok orang” adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, yang terdaftar di kementerian berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang disabilitas.”
Dengan demikian, selain harus menjadi pihak yang terdampak langsung atau memiliki kepentingan terhadap muatan materi yang dibahas, kelompok masyarakat bersangkutan harus pula terdaftar di kementerian yang berwenang. Menurut Pemohon, frasa “yang terdaftar di kementerian berwenang” itu pun melanggar ketentuan angka 176 Lampiran II UU 12/2011 karena tidak menjadi sarana untuk memperjelas norma yang termuat pada batang tubuh sehingga ketentuan terkait subjek partisipasi masyarakat menjadi tak jelas.
Fahrur mengaku telah melakukan kajian terhadap naskah akademik dan penulusuran terhadap risalah rapat kerja pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan perubahan kedua UU 12/2011 sama sekali tidak dijumpai pembahasan ataupun penjelasan terhadap alasan dan urgensi pernormaan “yang terdaftar di kementerian yang berwenang” pada bagian penjelasan pasal. Padahal, kata dia, sejumlah pembahasan yang dilakukan menekankan pentingnya ruang partisipasi masyarakat yang bermakna baik bagi perorangan atau kelompok secara seluas-luasnya seperti kelompok penyandang disabilitas untuk ikut serta dalam proses pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Sebagai konsekuensi logis dari ketentuan pasal a quo, jaminan hak partisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi terbatas atau tidak menyeluruh. Perseorangan warga negara atau kelompok masyarakat yang ingin memajukan diri untuk memperjuangkan haknya atau mengeluarkan pikirannya pada suatu proses pembentukan perundang-undangan haruslah terlebih dahulu terdampak langsung atau memiliki kepentingan terhadap materi muatan di dalamnya.
Baca juga: Dominasi Kekuasaan Presiden di Legislatif, Mahasiswa Uji UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dalam petitum yang telah diperbaikinya, Fahrur meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan” pada Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula yang memiliki perhatian (concern) serta menyatakan frasa “yang terdaftar di kementerian yang berwenang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina