JAKARTA, HUMAS MKRI – Freddy TH Sinurat bersama sejumlah 15 Pemohon yang berprofesi sebagai karyawan swasta mengajukan uji materill Pasal 161 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 152/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh bersama dengan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dari Ruang Sidang Panel pada Selasa (29/10/2024).
Menurut para Pemohon, Pasal 161 ayat (2) UU PPSK yang menyatakan “Pembayaran manfaat pensiun bagi peserta, janda/duda, atau anak harus dilakukan secara berkala” bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945. Menurut Pemohon, frasa “harus dilakukan secara berkala” merupakan suatu bentuk pemaksaan dan kesewenang-wenangan dalam pengambilalihan hak milik pribadi para Pemohon berupa manfaat pensiun. Dalam pandangan para Pemohon, kata “harus” bermakna tidak memberikan pilihan.
Sementara hal yang bersifat diharuskan tersebut adalah hak milik pribadi para Pemohon, yang berasal dari iuran pemberi kerja dan iuran para Pemohon melalui pemotongan gaji setiap bulan. Sehingga ketentuan yang termuat pada norma telah merampas hak para Pemohon untuk memilih dan menentukan cara pembayaran manfaat pensiun. Di samping itu, hal tersebut juga menghilangkan hak dan kesempatan para Pemohon untuk memanfaatkan hak manfaat pensiun tersebut sesuai dengan rencana, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan pribadi para Pemohon dan keluarga.
Lebih jelas lagi, Freddy menyebutkan berpedoman pada UU PPSK memberikan kekuasaan kepada lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengambil alih hak milik pribadi para Pemohon dengan menetapkan jumlah tertentu dan kondisi tertentu berkenaan dengan pembayaran manfaat pensiun. Namun pada Norma UU PPSK justru membatasi pembayaran manfaat pensiun pertama kali secara sekaligus sebagaimana diatur pada Pasal 164 ayat (2) yang menyatakan “Peraturan dana pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan pembayaran manfaat pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun”.
Dengan kata lain, sambung Freddy, Pasal 164 ayat (2) merupakan pengambilalihan secara sewenang-wenang setidaknya 80% (delapan puluh persen) manfaat pensiun yang merupakan hak milik para Pemohon. Mengacu pada konstitusi, pengaturan mengenai pengelolaan dan/atau pembayaran manfaat pensiun seharusnya dilakukan dengan persetujuan pemiliknya. Bahwa manfaat pensiun itu jelas ada pemiliknya dan tidak termasuk barang milik negara. Mengingat hal ini berbeda dengan BPJS yang bersifat wajib, maka dana pensiun tidak bersifat wajib melainkan sepenuhnya keputusan pemberi kerja, maka tidak etis apabila kemudian pembayaran manfaat pensiun itu diatur tanpa memperhatikan aspirasi pemberi kerja dan pekerja dalam hal ini para Pemohon.
“Para Pemohon mengajukan kepada Majelis HakimKonstitusi agar berkenan memberikan putusan menyatakan bahwa Pasal 161 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 bertentangan dengan UU NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Freddy membacakan petitum permohonan para Pemohon atas perkara ini.
Struktur Permohonan
Hakim Konstitusi Guntur memberikan nasihat Majelis Sidang Panel agar para Pemohon mempelajari PMK 2/2021 terkait norma yang dapat dijadikan panduan dalam membuat permohonan yang terdiri atas kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum para Pemohon atau legal standing, alasan permohonan atau posita, dan ditutup dengan petitum.
“Pada perkara ini ada 16 Pemohon, maka harus dijelaskan kedudukan hukumnya terkait dengan hak konstitusi yang terlanggar atas keberlakuan norma yang diujikan. Jadi dirinci satu-satu, mana yang ada legal standing dan tidak, ini menjadi tantangan untuk disempurnakan,” jelas Guntur.
Kemudian Hakim Konstitusi Ridwan dalam nasihatnya mengatakan kepada para Pemohon untuk memperkuat alasan permohonan mengenai ‘secara berkala’ dan bukan pilihan atas persoalan hukum yang dialami para Pemohon. “Ini harus dijelaskan dan didukung bukti, jika tidak ini akan sulit bagi mahkamah mengabulkan permohonan ini. Yakinkah Mahkamah atas inkonstitusional norma ini dan ini belum terlihat pada 16 halaman permohonan ini,” jelas Ridwan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel meminta agar para Pemohon memperkuat dalil dengan menyertakan contoh penerapan norma ini dengan negara lain dalam keberlakuannya tersebut, sehingga dapat meyakinkan Mahkamah atas kerugian konstitusional para Pemohon. Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Daniel mengatakan para Pemohon dapat menyempurnakan permohonan hingga 14 hari ke depan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Senin, 11 November 2024. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya yang akan diinformasikan terlebih dahulu kepada para Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan