JAKARTA, HUMAS MKRI - Frasa “melanggar kesusilaan” dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bermaksud membatasi konten-konten yang berpotensi merusak moral publik dan mengancam tata nilai sosial yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, pembatasan tersebut dilakukan guna menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan perlindungan nilai-nilai moral dan kepatutan.
Demikian keterangan yang disampaikan Pemerintah melalui Hokky Situngkir selaku Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Digital dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Selasa (29/10/2024). Sidang ini digelar untuk dua perkara sekaligus yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Jovi Andrea Bachtiar (Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia).
Lebih jelas Pemerintah dalam keterangan menguraikan terkait Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat dari berita bohong yang beredar. Sehingga pasal tersebut bukan untuk mengkriminalisasi pihak yang melakukan kritik atau pengekangan terhadap kebebasan berpendapat. Melainkan sebagai usaha melindungi kritik dan ekspresi masyarakat yang dapat saja digunakan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan informasi yang tidak benar sebagai alat untuk merusak reputasi individu atau kelompok. Dengan demikian, sambung Hokky, pasal tersebut berfungsi sebagai upaya pencegahan agar kritik yang konstruktif dan berdasarkan fakta dapat disampaikan tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum yang tidak adil.
“Sehingga UU ITE sejatinya telah memberikan keseimbangan yang proporsional terhadap hak dan kewajiban seseorang, baik mengenai perbuatan tindak pidana ‘melanggar kesusilaan’ menjadi kesatuan norma/pengaturan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) maupun kesatuan norma/pengaturan mengenai perbuatan tindak pidana ‘menyerang kehormatan atau nama baik orang lain’ yang diatur dalam Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU ITE,” jelas Hokky dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Aktivis Unggah Konten Video Pencemaran Lingkungan Berujung Penahanan Berdasar UU ITE
Aktivis Lingkungan Sempurnakan Dalil Permohonan Uji UU ITE
DPR dan Presiden Minta Penundaan Sidang Pengujian UU ITE
Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Pada Sidang Pendahuluan yang digelar di MK, Senin (26/8/2024) lalu, tim kuasa hukum Daniel Frits Maurits Tangkilisan (Pemohon) mengungkapkan, Pemohon adalah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Pemohon kerap memperjuangkan, melestarikan, dan mempromosikan kesadaran terhadap perlindungan lingkungan hidup melalui pelbagai platform media sosial dengan memuat konten atau materi dengan tema perlindungan lingkungan hidup.
Pemohon merasa menjadi “korban” dari UU ITE yang diterapkan secara “karet”. Hal ini bermula dari konten video yang Pemohon unggah pada laman Facebook-nya yang menunjukkan tercemarnya salah satu pantai di Karimun Jawa. Video tersebut ternyata menimbulkan pelbagai reaksi dari pengguna Facebook.
Pernyataan Pemohon dalam konten video tidak ditujukan pada orang tertentu dan tidak pula ditujukan untuk menimbulkan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antar golongan. Namun Pemohon tetap dikenai proses hukum berupa penahanan. Pemohon diproses dengan menggunakan (i) Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2); atau (ii) Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016. Dengan demikian, menurut Pemohon, jelas telah terjadi pelanggaran hak konstitusional Pemohon.
Singkatnya, Pemohon berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jepara dinyatakan bersalah sebagaimana UU ITE lama (UU ITE 2016). Pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang melepaskan Pemohon dari dakwaan, namun Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan Nomor 374.PID.SUS/2024/PT SMG. Hal ini dikhawatirkan berpotensi pada diadilinya Pemohon menggunakan UU ITE baru (2024) dan karenanya Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan perkara ini ke MK.
“Terkait dengan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE utamanya frasa ‘orang lain’ menurut Pemohon hal ini tidak memberikan kepastian hukum. Bahwa spektrum ‘korban’ yang dilingkupinya sangat luas, sehingga siapapun dapat menjadi objek pengaduan. Untuk itu, perlu dilakukan pembatasan penafsirannya yang dapat dimanifestasikan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023),” sebut Damian Agata Yuvens selaku kuasa hukum Pemohon.
Baca juga:
Jaksa Tersandera Kriminalisasi Berdasarkan UU ITE Usai Posting Kritik
Jaksa Sempurnakan Dalil Permohonan Uji UU ITE Soal Kritik di Medsos
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 diajukan Jovi Andrea Bachtiar (Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia). Pada sidang pendahuluan di MK, Selasa (3/9/2024) lalu, Pemohon melalui tim kuasa hukumnya menyebutkan bahwa Pemohon sedang dalam proses hukum atas laporan pengaduan ke Kepolisian Resor Tapanuli Selatan terkait kritik di media sosial (medsos) terhadap penyelenggara negara yang dinilainya menyalahgunakan kewenangan dengan menggunakan fasilitas negara secara sembarangan. Akibatnya, Pemohon dilaporkan dan ditahan di wilayah hukum Kepolisian Resor Tapanuli Selatan. Dalam pandangan Pemohon, ketidaksediaan seorang ASN yang dikirik tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya ketidakjelasan dalam memaknai frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dan frasa “untuk kepentingan umum” dalam Pasal 45 ayat (7) UU ITE.
Pada hakikatnya, Pemohon menilai pasal-pasal tersebut berpotensi membuka posibilitas untuk mengkriminalisasi sebagaimana yang dialami Pemohon hanya karena mengkritik sesama penyelenggara negara. Oleh karenanya, Pemohon menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.
Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk juga “kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.” Sehingga rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP berubah menjadi, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan untuk membela diri atau demi kepentingan umum seperti kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Tiara Agustina.