JAKARTA, HUMAS MKRI – Sekitar 25 mahasiswa yang tergabung dalam Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/10/2024). Mereka berdiskusi mengenai kewenangan MK, hukum acara di MK, serta perkembangan penyelesaian perkara di MK bersama Asisten Ahli Hakim Konstitusi Bisariyadi.
Bisariyadi menjelaskan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, memutus pembubaran partai politik, serta wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/ atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar. Namun, sejak berdiri pada 2003, MK belum pernah memutus pembubaran partai politik maupun pemakzulan presiden atau impeachment.
“Dari kelima itu, dua yang saya sebut terakhir itu belum pernah diadili di Mahkamah Konstitusi, pembubaran partai politik dari awal dari 2003 itu belum ada begitu juga dengan impeachment,” ujar Bisariyadi di Ruang Delegasi Gedung 1 MK, Jakarta.
Bisariyadi mengatakan, dua kewenangan dimaksud tidak terlepas dari pengalaman masa lalu sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Dia pun menceritakan pemakzulan Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur pada 2001 silam. Gus Dur secara demokratis dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak, tetapi akhirnya dimakzulkan juga oleh MPR.
Menurut Bisariyadi, pemakzulan tidak daat dilakukan secara sembarangan dengan dasar hukum yang kuat dan jelas, seperti pelanggaran terhadap hukum atau tindakan tercela lainnya. Dasar hukum pemakzulan presiden diatur dalam beberapa pasal dalam UUD 1945 terutama Pasal 7A dan Pasal 7B. Dalam pasal tersebut disebutkan presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Namun, kata Bisariyadi, hal itu merupakan konsep-konsep besarnya. Proses pemakzulan sebenarnya cukup sulit dilakukan karena seperti perbuatan apa yang bisa dinyatakan perbuatan pengkhianatan terhadap negara atau perbuatan tercela hingga presiden atau wakil presiden untuk diberhentikan. Dalam konteks prosedural, DPR merupakan lembaga pertama yang mengawali proses impeachment, karenanya DPR harus merinci dalam mengajukan alasan-alasan pemberhentian terhadap presiden dan/atau wakil presiden.
Bisariyadi melanjutkan, dari lima kewenangan di atas, MK lebih banyak memutus permohonan pengujian undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap konstitusi atau UUD. Berbeda dengan Mahkamah Agung yang mengadili permohonan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Pihak yang dapat mengajukan permohon pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK dibagi menjadi lima yakni perorangan warga negara Indonesia, masyarakat hukum adat, badan hukum publik/privat, serta lembaga negara. Pihak yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dirugikan akibat diberlakukannya suatu undang-undang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang di MK sebagai Pemohon.
Selepas berdiskusi, para mahasiswa juga mendatangi Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) yang terletak di Lantai 5 dan 6 Gedung 1 MK. Di Puskon, mereka dapat melihat mengenai sejarah konstitusi di Indonesia dan sejarah terbentuknya MK di Indonesia dengan suguhan yang menarik dan modern. Sejak diresmikan, Puskon MK kerap mendapat kunjungan dari berbagai instansi maupun berbagai kalangan masyarakat. Puskon MK memang terbuka untuk umum dan semua pengunjung yang datang tidak dipungut biaya. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.