DEPOK, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pidato hukum nasional dengan tema "Memperbesar Ruang Hukum Progresif Berbasis Ideologi Dan Konstitusi Negara Untuk Pendidikan Hukum Abad Ke-2” pada acara Sidang Perayaan Dies Natalis Akbar 100 Tahun Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin 28 Oktober 2024, di Balai Sidang UI, Depok.
Mengawali pidatonya, Arsul menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi melihat perkembangan ruang hukum progresif dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Lebih lanjut, Arsul menyampaikan, perkembangan ruang hukum progresif mengacu pada sejumlah permohonan pengujian norma undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.
“Dalam dua tahun terakhir ini, para mahasiswa fakultas hukum dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia banyak menjadi pemohon yang mengajukan permohonan pengujian norma undang-undang yang diyakini tidak memenuhi prinsip-prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi yang baik sebagaimana dimaksud dalam konstitusi kita, UUD NRI Tahun 1945. Terlepas dari dari penilaian konstitusionalitas norma undang-undang yang menjadi obyek pengujian dalam permohonan mereka, kami menangkap semangat dan cara berpikir dengan pendekatan hukum progresif dalam permohonan mereka,” jelasnya.
Arsul melanjutkan, sejumlah mahasiswa dan dosen FHUI juga menjadi bagian dari warga negara yang menjadi pemohon pengujian undang-undang, hal ini menunjukkan semangat untuk turut berjuang dan bertanggung jawab menciptakan hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mereka menunjukkan kualitas critical thinking dan empati sosial yang sangat baik, tentunya hal ini terjadi berkat kontribusi dari para akademisi dan dosen di FHUI.
“Dalam catatan saya, setidaknya terdapat 25 (dua puluh lima) permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh 17 (tujuh belas) mahasiswa dan beberapa dosen FH UI selama dua tahun terakhir ini. Demikian pula, sejumlah akademisi dan dosen FHUI memberikan keterangan ahli di MK RI. Beberapa diantara permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, antara lain seperti terdapat dalam putusan mengenai norma larangan kampanye di kampus atau perguruan tinggi serta masa jabatan pimpinan organisasi advokat,” terangnya.
Mahkamah Konstitusi juga melihat pengajuan permohonan pengujian undang-undang oleh para mahasiswa tersebut sebagai salah satu output positif pendidikan hukum yang memberikan ruang kepada hukum progresif. “Oleh karena itu, kami berkeyakinan bahwa jika ruang orientasi dan pendekatan hukum progresif terus diperbesar dalam pendidikan hukum kita, prinsip negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sebagaimana termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 akan dapat diwujudkan dengan lebih baik,” tuturnya.
Namun dalam konteks orientasi dan pendekatan hukum progresif ini, Arsul menekankan pentingnya menempatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai ideologi dan norma dasar negara. Pancasila sebagai sistem moral dan etika manusia dalam membangun hukum, yang mencakup nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan tetap harus menjadi landasan bagi pendidikan hukum yang memberi ruang hukum progresif.
Menutup pidatonya, Arsul menjelaskan bahwa paradigma dan semangat hukum progresif yang diejawantahkan dalam berbagai bentuk partisipasi dalam kehidupan bernegara, antara lain dengan pengujian undang-undang di hadapan MK-RI, tetaplah harus berbasis ideologi negara, Pancasila dan konstitusi, UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena ideologi negara dan konstitusi merupakan resultante dari kesepakatan rakyat Indonesia yang menjadi pedoman hidup bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, hukum progresif yang hendak diwujudkan tidak serta merta mentransplantasi berbagai pemikiran dan pemahaman dari dunia barat, terlebih ketika basis pemikiran dan pemahaman dari dunia barat itu adalah sekularisme, liberalisme maupun marxisme. (*)
Penulis: Bayu Wicaksono
Editor: Lulu Anjarsari P.