JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sidang Perkara Nomor 143/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Senin (28/10/2024). Perkara yang diajukan oleh Muhammad Amir Rahayaan, Hamka Arsad Refra, Harso Ohoiwer, dan Hasanudin Raharusun.
Dalam persidangan, para Pemohon menyampaikan perbaikan yang telah dilakukan pada bagian kewenangan MK serta kedudukan hukum para Pemohon. Harso Ohoiwer selaku salah satu pemohon menyatakan bahwa para Pemohon mengalami kerugian konstitusional terkait hak-hak konstitusional mereka terhadap pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. “Para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan akibat adanya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden,” ungkap Harso.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan mereka sepenuhnya, menyatakan Pasal 218 ayat (1) dan (2) serta Pasal 219 UU Nomor 1 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa para pemohon adalah warga negara Indonesia. Para pemohon juga meminta agar putusan ini diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Pasal Penghinaan Presiden
Dalam sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya pada (15/10), para pemohon mengungkapkan bahwa Pasal 218 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan hukuman bagi siapapun yang menyerang kehormatan presiden atau wakil presiden di muka umum, dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda kategori IV. Pasal 219 mengatur hukuman bagi yang menyiarkan atau menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, dengan pidana penjara hingga 4 tahun 6 bulan atau denda kategori IV.
Para pemohon berargumen bahwa ketentuan ini mencerminkan konsep Lese Majeste yang umumnya diterapkan dalam sistem monarki, sementara Indonesia sebagai negara demokrasi berbasis republik tidak memaknai presiden sebagai simbol negara. Pasal ini dianggap kurang relevan dalam konteks negara yang demokratis di mana presiden tidak dijadikan lambang negara, berbeda dengan pasal terkait simbol negara dalam Pasal 36A UUD 1945. Pemohon menyatakan bahwa Pasal 218 KUHP mengandung kekeliruan konsep, dengan menerapkan prinsip primus interpares (yang pertama di antara yang sederajat) dalam melindungi martabat presiden. Menurutnya, prinsip ini seharusnya hanya terkait hak khusus yang menunjang kinerja presiden, seperti hak pengawalan dan hak istimewa lainnya sesuai Pasal 14 UUD 1945, bukan dalam konteks pidana penghinaan.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan