JAKARTA, HUMAS MKRI – Presiden/Pemerintah menyatakan tidak menggunakan haknya untuk memberikan keterangan dalam persidangan pengujian Undang-Undang tentang Desa di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu disampaikan perwakilan Presiden/Pemerintah, Purwoko selaku Koordinator Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Purwoko dalam sidang dengan agenda mendengar keterangan DPR dan Presiden pada Kamis (24/10/2024).
“Kami bersepakat dalam kuasa Presiden untuk tidak menggunakan hak untuk memberi keterangan Presiden, Yang Mulia. Ini sudah kami pertimbangkan dari berbagai hal,” ujar Purwoko di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Namun, dia tidak menjelaskan lebih rinci mengenai alasan substansi Presiden/Pemerintah enggan memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi. Menurut Purwoko, alasan dimaksud tidak dapat disampaikan karena hal dimaksud menjadi keputusan pimpinan-pimpinan terutama di Kementerian Dalam Negeri.
“Jadi, sudah memperhitungkan dari berbagai aspek dan ketika dihitung-hitung gitu kita akan lebih baik menyerahkan hal ini ke Mahkamah, jadi kita mempercayakan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memberikan keputusan yang seadil-adilnya,” kata Purwoko.
Di sisi lain, Ketua MK Suhartoyo mengatakan keputusan untuk tidak memberikan keterangan di persidangan harus pula disampaikan pejabat yang berwenang seperti halnya pejabat yang berwenang memberikan keterangan dalam persidangan di MK. Sebab, Mahkamah juga memiliki tanggung jawab kepada pencari keadilan sebagaimana ketentuan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang MK bahwa untuk kepentingan pemeriksaan hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Dilanjutkan dengan Pasal 54 UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU MK tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan permohonan pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.
“Dapat itu adalah diskresinya MK tetapi ketika itu pilihannya adalah meminta ini MK yang meminta bukan Pemohon, itu yang harus disampaikan kepada pejabat yang berwenang, ini MK lho Pak yang minta atas nama badan peradilan konstitusional yang di belakangnya adalah ada hak-hak konstitusional warga negara di sana, ini yang harus dipahami, bukan untuk kepentingan para hakim,” jelas Suhartoyo.
Dijelaskan lebih lanjut dengan Pasal 53 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 yang menyatakan pembacaan keterangan Presiden dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, menteri, pejabat setingkat menteri, atau pejabat pimpinan tinggi madya atau pejabat setingkat eselon 1. Karena itu, kata Suhartoyo, Mahkamah ingin keputusan Presiden/Pemerintah untuk tidak menyampaikan keterangan di persidangan harus pula disampaikan setidaknya secara tertulis oleh pejabat yang berwenang supaya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, khususnya Pemohon. Sidang perkara ini dilanjutkan kembali pada Senin, 11 November 2024 pukul 10.30 WIB.
Baca juga:
Kades AMJ November 2023-Januari 2024 Minta Perpanjangan
Pemohon Uji UU Desa Minta Prioritas Pemeriksaan
Sidang Uji UU Desa Ditunda karena DPR Tak Hadir dan Pemerintah Belum Siap
Sebagai informasi, Perkara Nomor 107/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan Asosiasi Desa Bersatu (Pemohon I) bersama tiga kepala desa (Pemohon II-Pemohon IV). Para Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 118 huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Norma tersebut tidak menyebutkan kepala desa yang periode jabatannya berakhir pada November 2023, Desember 2023, serta Januari 2024 juga diperpanjang masa jabatannya.
Menurut para Pemohon, UU Desa seharusnya dapat mengakomodasi para kepala desa yang akhir masa jabatannya pada November, Desember 2023, dan Januari 2024 untuk mendapatkan perpanjangan masa jabatan selama dua tahun. Namun, norma a quo hanya menyebutkan kepala desa yang berakhir masa jabatannya sampai dengan Februari 2024 dapat diperpanjang sehingga bagi para Pemohon tidak ada kepastian hukum.
Persoalan dimaksud menurut para Pemohon, terjadi akibat penafsiran sendiri oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas Pasal 118 huruf e UU Desa. Mendagri melalui surat edaran Nomor 100.3.5.5/2625/SJ tertanggal 5 Juni 2024 tidak mengartikan frasa dalam ketentuan norma a quo termasuk kepada para kepala desa yang masa jabatannya berakhir di November 2023, Desember 2023, dan Januari 2024.
Namun, akibat surat edaran Mendagri, para Pemohon menyatakan pihaknya merasa dirugikan konstitusionalnya karena kepala desa yang AMJ pada November 2023, Desember 2023, dan Januari 2024 tidak mendapatkan perpanjangan masa jabatan sebagaimana ketentuan Pasal 118 huruf e UU Desa. Padahal, kata para Pemohon, berulang kali ditegaskan pimpinan DPR RI bahwa yang dimaksud pasal a quo adalah kepala desa yang akhir masa jabatannya pada November 2023, Desember 2023, dan Januari 2024 sampai dengan Februari 2024.
Menurut para Pemohon, pimpinan DPR RI melakukan rapat koordinasi yang dihadiri Sekretaris Jenderal Kemendagri, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Deputi Perundang-undangan dan Administrasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara, Kepala Badan Keahlian Sekjen DPR RI, serta dua organisasi desa yaitu Apdesi dan Aksi. Dalam rapat tersebut salah satunya disepakati Pasal 118 huruf e mengakomodasi para kepala desa yang AMJ pada November 2023, Desember 2023, dan Januari 2024 sedang tidak menjadi terdakwa atau mengundurkan diri.
Namun, Mendagri pada 14 Januari 2023 mengeluarkan surat edaran nomor 100.3.5.5/244/SJ perihal pelaksanaan pemilihan kepala desa pada masa pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 yang pada pokoknya berisi tentang pemilihan kepala dera dapat dilaksanakan sebelum 1 November 2023 atau dapat dilaksanakan setelah selesainya tahapan pemilu dan pilkada 2024. Dengan dikeluarkannya surat edaran mendagri tersebut kepala desa yang AMJ mulai dengan November, Desember 2023, dan Januari 2024 tidak dapat mengikuti proses pemilihan kepala desa, sehingga Pemohon I meminta agar mendagri memberikan penegasan kepada Bupati dan Walikota agar dilakukan pemilihan kepala desa dipercepat sebelum November 2023 dengan alasan beririsan adanya tahapan pemilu secara serentak, tetapi penegasan dari mendagri kepada bupati atau walikota tidak berjalan sehingga hal tersebut merugikan Pemohon II, III dan IV dan 2.181 para kepala desa yang AMJ pada November, Desember 2023 dan Januari 2024.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 118 huruf e UU 3/2024 yang berbunyi, “Kepala Desa yang berakhir masa jabatannya sampai dengan bulan Februari 2024 dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan undang-undang ini” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Para Pemohon ingin pasal a quo dimaknai menjadi, “Kepala Desa yang berakhir masa jabatannya mulai dari Bulan November, Desember 2023, Januari 2024, dan bulan Februari 2024 dapat diperpanjang sesuai dengan Ketentuan Undang-undang ini.”
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.