JAKARTA, HUMAS MKRI – Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sama-sama menolak permohonan uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam sidang keempat untuk Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 tersebut, Partai Gerindra dan PKB hadir sebagai Pihak Terkait. Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP PKB Anwar Rachman mewakili PKB, sementara Partai Gerindra diwakili oleh Munathsir Mustaman selaku kuasa hukum.
Anwar Rachman menegaskan dalil permohonan para Pemohon yang meminta Mahkamah membatalkan keseluruhan norma Pasal 222 UU Pemilu adalah tidak berdasar. Hal ini berakibat ketidakpastian hukum karena tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 221 UU Pemilu, maka belum terdapat kriteria yang jelas tentang legitimasi partai politik seperti apa yang dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
“Begitu juga dalil permohonan Para Pemohon yang pada Intinya memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan Pasal 222 UU Pemilu bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi di DPR harus ditolak karena Para Pemohon tidak menawarkan konsep alternatif pengganti ambang batas tersebut dan hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden,” ujar Anwar dalam sidang yang digelar pada Rabu (23/10/20240 di Ruang Sidang Pleno MK.
Sehingga, menurut Anwar, permohonan para Pemohon tersebut tidak memiliki teori dan rasionalitas yang jelas. Kemudian, para Pemohon juga tidak memberikan simulasi dan solusi alternatif yang konkret untuk mengatasi permasahan tersebut.
“PKB berpendapat apabila permohonan para Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka pada Pemilihan Presiden Tahun 2029 akan banyak Calon Presiden/Wakil Presiden yakni jumlah Pasangan Calon Presiden dapat mencapai lebih dari 17 pasangan calon karena masing-masing partai politik akan mengajukan calon presiden/wakil presiden sendiri dan hal ini tentunya menguras tenaga, pikiran, waktu serta blaya yang lebih besar serta berpotensi menimbulkan risiko kegaduhan, yakni gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat,” tegas Anwar.
Dikatakan Anwar, dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak berdasar dan sudah selayaknya apabila permohonan para Pemohon a quo dinyatakan ditolak dan atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini karena terkait dengan pengaturan ambang batas pencalonan Presiden/Wakil Presiden (presidential threshold) merupakan kewenangan pembuat Undang-undang dan PKB menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat undang-undang.
“Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak berdasar dan sudah selayaknya apabila permohonan para Pemohon a quo dinyatakan ditolak dan atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” tandas Anwar.
Memperkuat Stabilitas Pemerintahan
Sementara Munathsir Mustaman, selaku kuasa hukum Partai Gerindra, memberikan keterangan bahwa Partai Gerindra sebagai partai politik peserta Pemilu telah mematuhi ketentuan presidential threshold sejak 2009 hingga 2024. Partai merasa diuntungkan dengan adanya aturan ambang batas tersebut, karena berfungsi sebagai pedoman dalam menentukan persentase minimum suara yang dibutuhkan untuk keterpilihan seorang calon presiden. Aturan ini mendorong partai untuk berusaha lebih keras memenuhi persentase yang ditentukan agar dapat mendukung kader-kader terbaiknya sebagai calon presiden dan/atau calon wakil presiden dalam Pemilu.
Terkait prasyarat dukungan partai politik di parlemen, esensi dari presidential threshold adalah untuk memperkuat stabilitas pemerintahan presidensial dalam sistem multipartai. Ketentuan ambang batas ini dirancang untuk menjaga keseimbangan antara parlemen dan Presiden dalam prinsip check and balances. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, keseimbangan antara legislatif dan eksekutif sangat penting agar tidak ada satu kekuasaan yang mendominasi sepenuhnya. Asas check and balances ini merupakan elemen esensial yang diatur dalam konstitusi guna memastikan adanya pemisahan kekuasaan yang efektif.
Munathsir juga menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tentang presidential threshold bukanlah pasal diskriminatif. Penambahan syarat ambang batas pencalonan tidak berpotensi menghilangkan calon presiden dan calon wakil presiden alternatif. Pasal tersebut merupakan norma konkret yang merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, serta merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
“Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, karena secara substansial tidak melanggar moralitas, rasionalitas, atau prinsip keadilan yang tidak dapat ditolerir sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” papar Munathsir.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Syarmadani yang merupakan Subkoordinator Bidang Polhukam I dalam persidangan menyampaikan penerapan ambang batas pencalonan Presiden merupakan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Urgensi dari presidential threshold memperkuat sistem presidensiil serta penerapan presidential threshold dalam pemilihan umum dapat memunculkan figur Presiden dan Wakil Presiden dengan dukungan yang kuat. Hal ini karena memiliki basis dukungan besar di parlemen sehingga pelaksanaan pemerintahan akan stabil dan efektif. Dalam kondisi ini dapat memperkuat sistem presidensial yang dianut bangsa Indonesia sehingga membuat kinerja Presiden sebagai eksekutif lebih efektif dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Menurut Pemerintah, penerapan presidential threshold demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Jika syarat itu tidak diterapkan, maka memungkinkan presiden dan wakil presiden yang terpilih diusung oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen.
“Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar presiden dan wakil presiden sebagai lembaga eksekutif akan mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahan karena berpotensi mendapatkan hambatan dari koalisi mayoritas di parlemen,” ujarnya.
Ambang batas pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 sebagai syarat Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya dengan Pemilihan umum yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, dengan demikian pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan pada rakyat pemilih yang berdaulat.
Syarmadani menerangkan, hal tersebut membuktikan apakah partai yang mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat dukungan yang luas dari rakyat pemilih, lagi pula syarat dukungan partai politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh 20% (dua puluh persen) kursi di DPR atau 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional sebelum pemilihan umum Presiden, merupakan dukungan awal. Sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden yang kelak akan menjadi Kepala Pemerintahan sejak awal pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui Partai Politik yang telah memperoleh dukungan final melalui Pemilu.
Open Legal Policy
Syarmadani juga menyatakan bahwa norma yang sedang diuji dalam perkara ini secara substansi tidak berbeda dengan norma yang sebelumnya telah dinilai oleh Mahkamah melalui berbagai putusan, khususnya yang terkait dengan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Mahkamah telah menegaskan pandangannya bahwa ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 mengenai besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka yang berada dalam kewenangan pembentuk Undang-Undang.
“Bahwa dalam Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5), serta Pasal 22E ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945 menyatakan pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Umum lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang, dengan demikian pengaturan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang merupakan Open Legal Policy,”jelas Syarmadani.
Ia juga menyebutkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam permohonan ini, yaitu Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 6A ayat (2) dan (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945, telah menjadi dasar pengujian dalam permohonan-permohonan sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan ini
Baca juga:
Jelang Pilkada Serentak 2024, Ketentuan Persyaratan Calon Kepala Daerah Diuji
Pemohon Ajukan Provisi Mohon Perkara Diputus Sebelum Pencalonan Kepala Daerah
Syarat Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah Kembali Dipersoalkan
DPR dan Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang UU Pemilu
Sebelumnya, Pemohon perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menyatakan Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu, terkait keberadaan presidential threshold (PT) yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu. Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon sehingga hak para Pemohon untuk memilih Presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.
Sementara Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Mereka juga menjadi penggiat pemilu menganggap pengaturan ambang batas menjadikan hak mengusung calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diakses para elit pemilu yang memiliki persentase tinggi pada pemilu sebelumnya dan menutup akses bagi partai politik peserta pemilu dengan persentase rendah yang tidak ingin berkoalisi.
Kemudian, Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta perorangan Titi Anggraini (Pemohon II). Menurut para Pemohon, terdapat inkonsistensi antara tujuan pemberlakuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dengan fakta empirik di lapangan serta adanya dampak destruktif terhadap sistem presidensial yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu dimaknai menjadi, “Pasangan Calon diusulkan oleh: a. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau c. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR.” Atau para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik peserta pemilu memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan c. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina