JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) pada Selasa (22/10/2024). Sidang digelar untuk tiga perkara sekaligus, yaitu Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara 134/PUU-XXII/2024.
Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Namun, persidangan kembali ditunda karena DPR dan Pemerintah belum dapat memberikan keterangan secara langsung. Padahal sebelumnya, Senin (7/10/2024) MK menunda persidangan karena kedua lembaga tersebut belum siap.
“Sidang hari ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR, namun belum bisa hadir sehingga akan dijadwalkan ulang. Sementara Pemerintah sudah ada keterangan tertulisnya, tetapi pejabat yang harus membacakan tidak ada yang terjadwal di MK. Karena secara mendadak diinformasikan ada rapat tingkat tinggi dengan menteri baru dalam Kabinet Merah Putih. Maka Mahkamah bermusyawarah akan memberi kesempatan untuk pembacaan keterangan pada sidang berikut. Maka sidang berikutnya akan diselenggarakan pada Rabu, 6 November 2024 pukul 10.30 WIB,” sampai Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga:
Kewajiban dan Tolok Ukur Peserta Tapera Dipertanyakan
Sejumlah Serikat Pekerja Persoalkan Kewajiban Pekerja Jadi Peserta Tapera
Pemohon Melampirkan Hasil Survei Penolakan Kepesertaan Tapera
Pemohon Sebut Kegagalan Cina Gunakan Konsep Tapera
Pemerintah dan DPR Belum Bisa Beri Keterangan, Sidang Uji UU Tapera Ditunda
Sebagai tambahan informasi, MK menggabung pemeriksaan tiga permohonan perkara pengujian materi UU Tapera. Tiga perkara dimaksud, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024.
Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 dimohonkan Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung. Para Pemohon mengujikan Pasal 7 ayat (1) dan ayat 2, Pasal 72 ayat (1) huruf c UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Para Pemohon mendalilkan kewajiban Tapera menguras pendapatan masyarakat rendah, sedangkan biaya hidup semakin tinggi dan ditambah pula adanya potongan upah untuk BPJS dan biaya lainnya.
Kemudian Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera. Menurut KSBSI, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. KSBSI menyebutkan upah pekerja/buruh mandiri masih kecil bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak, namun diharuskan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar termasuk Tapera, sehingga program Tapera ini tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Terakhir, Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 diajukan sejumlah organisasi serikat pekerja, antara lain, Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif–Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Para Pemohon mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 64 huruf a UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan kewajiban menjadi anggota Tapera bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan tersebut bersifat wajib atau memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.