BANJARMASIN, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arsul Sani mengisi kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Banjarmasin, pada Jumat (18/10/2024). Dia memaparkan materi mengenai Dinamika Hukum Islam dan Ekonomi Syariah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Arsul mengatakan relasi antara agama dan negara di Indonesia tercermin dalam sila pertama Pancasila, yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa". Selain itu, juga diamanatkan dalam konstitusi ,yaitu Pasal 29 dan Pasal 28E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Kemudian kedudukan hukum Islam dalam putusan MK dapat dipelajari melalui Putusan MK Nomor 19/PUU-VI/2008 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam putusan ini disebutkan hukum islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional.
Arsul melanjutkan, hukum islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional. "Oleh sebab itu, hukum islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan," ujar Arsul.
Sejauh ini, MK telah beberapa kali menerima dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan ajaran agama khususnya hukum islam. MK memposisikan hukum islam sebagai sumber hukum yang menjadi bagian penting dalam perumusan pertimbangan hukum putusan.
Salah satu putusan dimaksud di atas ialah Putusan MK Nomor 58/PUU-XXI/2023 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Mahkamah menolak penambahan upaya hukum terhadap fatwa halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada pengadilan Agama.
Menurut Mahkamah, pengadilan agama tidak memiliki kompetensi absolut untuk menilai atau menguji fatwa kehalalan produk. Ketidakhalalan produk yang telah ditetapkan dalam sidang fatwa halal tidak dapat diuji oleh pengadilan agama apalagi diputus menjadi produk yang halal.
Di sisi lain, dalam Putusan MK Nomor 2/PUU-IX/2011 terkait pengujian UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Mahkamah mengabulkan dengan pemaknaan kewajiban halal tidak diberlakukan hanya bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan. Jadi untuk hewan yang dihalalkan tetap wajib sertifikasi halal.
Kemudian, dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XIX/2021 dengan pengujian UU yang sama yaitu UU Perbankan Syariah, Mahkamah menolak permohonan penghapusan kewenangan MUI untuk memberikan fatwa menjadi dasar prinsip syariah dalam perbankan syariah. Pertimbangan Mahkamah menyebutkan MUI adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
Kemudian, dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XV/2017 mengenai pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Mahkamah menolak penghapusan pasal tindak pidana terkait penodaan agama. Mahkamah dalam beberapa putusan terkait isu tersebut konsisten mempertahankan pasal a quo.
Sementara itu, Mahkamah mengabulkan dengan pemaknaan kata "agama" termasuk juga "kepercayaan" dalam norma pasal UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pemohon Perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016 ingin mengenai pengakuan penghayatan kepercayaan dalam KTP elektronik dan Kartu Keluarga.
Menurut Mahkamah, pengosongan data kependudukan tentang agama terhadap penganut kepercayaan mengakibatkan tidak mendapatkan jaminan kepastian dan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana warga negara lainnya. Pengaturan tersebut merupakan tindakan memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama yakni terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik.
Arsul mengatakan, Mahkamah Konstitusi berkomitmen melindungi hak konstitusional kebebasan beragama dan pelaksanaan ajaran setiap umat beragama ermasuk mendukung ekonomi syariah. Mahkamah Konstitusi menghormati otoritas keagamaan untuk memberikan penjelasan terkait ajaran dan penafsiran terhadap agama.
"Sebagai negara yang mendasarkan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bisa tidak negara Indonesia harus berjalan sesuai dengan nilai-nilai moral agama. Konsekuensinya dalam batas-batas tertentu negara harus mengambil bagian dalam urusan keagamaan," tulis Arsul dalam bukunya berjudul "Relasi Islam dan Negara Perjalanan Indonesia.
Di samping itu, dalam kegiatan ini juga Mahkamah Konstitusi dan Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin menandatangani nota kesepahaman tentang Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga dan Mutu Pendidikan Tinggi Hukum.
Nota kesepahaman ini bertujuan untuk dan demi tercapainya peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara dan mutu pendidikan tinggi hukum. Ruang lingkup nota kesepahaman ini seperti penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara serta pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.