JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil terkait sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) pada Kamis (17/10/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan Perkara Nomor 145/PUU-XXII/2024 ini diajukan Herdi Munte dan Missiniaki Tommi. Adapun materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015, Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berkaitan dengan pelaksanaan pilkada. Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan apabila kolom kosong (blank vote) tidak diakui sah di dalam pilkada dengan lebih dari satu pasangan calon.
Herdi Munte (Pemohon I) dalam persidangan menyatakan adanya perlakuan yang tidak adil karena suara ketidaksetujuan (blank vote) dianggap sah dalam pilkada dengan calon tunggal. Namun, ketika peserta pilkada lebih dari satu pasangan calon, blank vote tidak diakui sebagai suara sah.
“Golput pada pilkada saat ini sangat banyak terjadi, di kota Medan pilkada pada 2015 berjumlah 24,9 persen. Fenomena golput ini menjadi dorongan bagi kami,” sebutnya.
Sementara Pemohon II, Missiniaki Tommi, dalam persidangan mengatakan pasangan calon Gubernur Sumatera Barat dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan. Ia merasa haknya sebagai pemilih untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhalang oleh undang-undang yang tidak mengakui preferensi ketidaksetujuan dalam bentuk blank vote.
Para pemohon juga menyoroti sistem pemilihan keterpilihan suara terbanyak (plurality voting), yang menurut mereka mengabaikan kehendak mayoritas pemilih. Dalam pandangan mereka, sistem ini memberikan ruang bagi partai politik untuk memilih kandidat tanpa melibatkan kehendak luas masyarakat, sehingga publik dipaksa memilih kandidat yang dihasilkan oleh elit politik. Mereka mengusulkan agar blank vote atau suara kosong diakui sebagai suara sah dalam pilkada untuk melawan praktik politik oligarki dan kartel.
Pemohon juga menegaskan bahwa pengakuan terhadap blank vote merupakan perwujudan hak politik rakyat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap semua pasangan calon yang ada. Jika blank vote menang, maka pemilihan harus diulang dan pasangan calon yang kalah oleh blank vote tidak boleh mencalonkan diri lagi di pemilihan ulang.
Petitum
Para pemohon berharap MK dapat mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Sehingga dapat memberikan pengakuan konstitusional terhadap suara ketidaksetujuan ini sebagai langkah demokratis dalam Pemilukada Serentak 2024.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 79 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b memuat foto, nama, dan nomor urut calon dan kolom kosong sebagai wujud pelaksanaan suara kosong.” Kemudian, menyatakan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: 1) Memberi tanda satu kali pada surat suara baik pada pasangan calon maupun kolom kosong sebagai pelaksanaan suara kosong; atau 2) Memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.” Petitum berikutnya, meminta Mahkamah menyatakan Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Surat suara untuk Pemilihan dinyatakan sah jika: a. Surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan b. Pemberian tanda satu kali pada nomor urut, foto, atau nama salah satu pasangan calon dalam surat suara atau pada Kolom Kosong sebagai pelaksanaan suara kosong.”
Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memeroleh suara terbanyak dan mengalahkan Perolehan suara kolom kosong (blank Vote) ditetapkan sebagai Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Terpilih serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Terpilih.” Selain itu, meminta Mahkamah menyatakan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memeroleh suara terbanyak dan mengalahkan perolehan suara kolom kosong (blank vote) ditetapkan sebagai Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh selaku pemimpin sidang memberikan nasihat agar permohonan para Pemohon menjadi lebih baik. Daniel meminta para Pemohon untuk menguraikan batu uji di dalam alasan permohonan.
“Batu uji di dalam alasan permohonan dipastikan, apakah seluruh batu uji UUD dipakai atau mungkin mau dikurangi yang penting norma itu menunjukkan bahwa ini terjadi persoalan konstitusional,” ujar Daniel menasihati.
Sebelum menutup persidangan, Daniel menyebut para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas perbaikan permohonan adalah Rabu 30 Oktober 2024.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Tiara Agustina.