JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Kali ini permohonan diajukan seorang seniman bernama M. Taufik Hidayat dan konsultan bernama Doni Istyanto Hari Mahdi. Dalam permohonan Perkara Nomor 139/PUU-XXII/2024 para Pemohon mempersoalkan Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada.
Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada menyatakan, “KPU provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.” Pasal 54D ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.”
Aldi Indra Setiawan selaku kuasa hukum para Pemohon dalam persidangan menyebutkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab pasal tersebut mengatur prosedur dan tata cara pengesahan perolehan suara bagi pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong setelah pemungutan suara. Hal ini menurut para Pemohon dapat menjadi celah hukum dalam pelaksanaan Pilkada yang tidak demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
“Para Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusionalnya jika ternyata pelaksanaan ketentuan pasal a quo digunakan sebagai upaya melakukan penyelundupan hukum yakni secara sengaja hanya meloloskan satu pasangan calon saja. Partai politik yang berkewajiban menjalankan UU Politik tidak boleh dibiarkan menghilangkan hak konstitusional para Pemohon sesuai ketentuan UU Pilkada sepanjang penerapannya digunakan secara sengaja agar pemilihan hanya diikuti satu pasangan calon saja,” terang Aldi pada Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani dengan didamping Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur di Ruang Sidang Panel MK.
Petitum
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 54D Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 71 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari Daftar Pemilih Tetap (DPT).”
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 54D Ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: “Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan dilarang mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.” Selanjutnya, menyatakan ketentuan ini mulai dapat dipergunakan sejak Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024.
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam nasihatnya mengatakan agar para Pemohon menjelaskan kerugian yang dialami atas keberlakuan norma yang diujikan. “Harus dielaborasi lagi agar tidak hanya bersifat asumsi saja,” kata Ridwan.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Arsul Sani menasihati para Pemohon agar mencermati putusan MK yang terkait uji materi UU Pilkada, khususnya dengan pasal yang diujikan. “Coba dicari putusan 14/PUU-XVII/2019 ini juga menguji pasal ini, (Perkara Nomor) 139/PUU-XXII/2024. Adakah dengan ini overlapping pada alasan atau landasannya. Jika tidak sama karena mengajukan landasan uji lain secara prinsip terbuka untuk mempertahankan permohonan pengujian ini,” jelas Arsul.
Sebelum mengakhiri persidangan, Arsul mengatakan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Selambat-lambatnya perbaikan permohonan dapat diserahkan pada Selasa, 22 Oktober 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Setelah itu, Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Tiara Agustina.