JAKARTA, HUMAS MKRI – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal Arief Wibisono hadir dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai perwakilan untuk memberikan keterangan Presiden/Pemerintah pada Senin (07/10/2024). Arief menyebut independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tetap terjaga meskipun adanya kewenangan Menteri Keuangan (Menkeu) untuk memberikan persetujuan atas Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) operasional LPS.
“Persetujuan Menteri Keuangan atas RKAT operasional LPS, tidak berkaitan dengan keputusan/kebijakan/tindakan yang diambil LPS, sehingga tetap menjaga independensi LPS dalam pengambilan kebijakan,” ujar Arief dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 85/PUU-XXII/2024 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR/Presiden di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat. Dalam sidang hari ini DPR tidak hadir dan meminta penjadwalan ulang.
Perkara ini terkait pengujian materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Arief mengatakan pemberian persetujuan Menteri Keuangan atas RKAT operasional LPS, secara filosofis dilandasi doktrin pembagian kekuasaan (distribution of power) yang dianut Indonesia pasca perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mempunyai konsekuensi logis adanya sistem check and balance antarlembaga negara.
Arief menyatakan persetujuan Menkeu atas RKAT operasional LPS hanya diperuntukkan bagi anggaran operasional yang terdiri dari beban umum dan administrasi. Sedangkan RKAT LPS berkaitan dengan kebijakan, meliputi kebijakan penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi bank, dan likuidasi perusahaan asuransi/perusahaan asuransi syariah ditetapkan Dewan Komisioner tanpa memerlukan persetujuan Menkeu.
Dia menjelaskan kewenangan Menkeu memberikan persetujuan atas RKAT operasional LPS didasarkan pada Pasal 4 UU P2SK yang mengatur Menkeu adalah Koordinator Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS. Menteri Keuangan sebagai koordinator KSSK memiliki kepentingan yang cukup untuk memastikan LPS memiliki likuiditas yang cukup dan dana yang digunakan untuk kegiatan operasional dialokasikan secara efisien.
Berdasarkan penjelasan tersebut setidaknya terdapat tiga kebijakan hukum UU P2SK yang memberikan kewenangan kepada Menkeu di antaranya persetujuan Menkeu atas RKAT operasional LPS sebagai bentuk check and balance Pemerintah melalui Menteri Keuangan terhadap LPS; persetujuan Menkeu terhadap RKAT operasional LPS untuk memastikan sumber daya keuangan dalam kondisi baik untuk menjalankan perannya dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK); serta persetujuan Menkeu terhadap RKAT operasional LPS untuk menjaga akuntabilitas dan good governance LPS.
Selain itu, dia mengatakan kewenangan LPS dalam penempatan dana merupakan bagian dari JPSK bersama-sama dengan BI, OJK, dan negara (melalui Menteri Keuangan). Kewenangan tersebut merupakan “early involvement” dan risk minimizer yang dimiliki LPS dalam mencegah kondisi bank semakin memburuk. Kewenangan penempatan dana dari LPS timbul setelah adanya permintaan dari OJK. Fungsi penempatan dana oleh LPS berbeda dengan fungsi “lender of last resort” oleh BI.
Kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank yang sedang dalam penyehatan tidak bertentangan dengan kewenangan BI sebagai lender of last resort. BI tetap berperan dalam penyediaan likuiditas jangka pendek untuk bank yang memenuhi syarat, sedangkan LPS fokus pada penanganan bank yang berpotensi mengalami masalah solvabilitas. Pemisahan peran ini memperjelas fungsi masing-masing lembaga dan memperkuat sistem JPSK.
“Dengan demikian, “penempatan dana” oleh LPS tidak menggeser fungsi BI sebagai lender of last resort dan justru memberikan kesempatan bagi bank yang mengalami permasalahan keuangan untuk meneruskan upaya penyehatan,” jelas Arief.
Dia kembali menegaskan persetujuan Menkeu atas RKAT operasional LPS bertujuan agar penggunaan dana LPS dikelola secara prudent dan transparan sehingga akan menjaga kepercayaan publik khususnya terhadap LPS (sistem penjaminan simpanan nasional) maupun terhadap industri perbankan nasional pada umumnya. Adapun pemberian kewenangan penempatan dana oleh LPS sebagai bagian dari strategi risk minimizer, tidak hanya membantu bank yang sedang dalam masalah, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Dengan mandat ini, LPS dapat mengurangi risiko sistemik, meningkatkan stabilitas keuangan dan perlindungan terhadap depositor.
Baca juga:
Sidang Pengujian UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Ditunda
Dosen dan Mahasiswa Persoalkan Intervensi Politik Kepada LPS
Sebagai informasi, dua orang dosen dan satu mahasiswa mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua dosen dimaksud yaitu Giri Ahmad Taufik (Pemohon I) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Djuanda, Bogor dan Wicaksana Dramanda (Pemohon II) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Bandung. Selain itu, mahasiswa yang menjadi Pemohon perkara ini bernama Mario Angkawidjaja (Pemohon III) yang juga menjadi nasabah Bank Perkreditan Rakyat Nusantara Bona Pasogit (NBP) 31 Jatinangor.
Para Pemohon mengaku memiliki potensi kerugian konstitusional dari berlakunya Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 6, Pasal 276 angka 13 UU 4/2023. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 angka 6 yang memberikan wewenang bagi LPS untuk dapat melakukan penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari OJK berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlap) kewenangan dengan BI sebagai lender of last resort.
Apalagi kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda yang lebih mudah, dalam hal ini tidak memenuhi Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan prinsip Syariah yang dipunyai BI. Akibat ketidakjelasan dan tumpang tindih ini, maka timbul potensi membebani LPS, dalam hal ini menurunkan kemampuan LPS dan mengarah pada gagalnya LPS untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjamin simpanan nasabah yang merupakan bentuk perlindungan terhadap simpanan para Pemohon.
Selain itu, menurut para Pemohon intervensi pemerintah dalam bentuk persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS dalam pasal a quo menimbulkan keraguan yang sah pada sisi nasabah mengenai kepastian hukum bahwa LPS akan melaksanakan kewenangannya secara profesional dan berdasarkan expertise semata, tanpa campur tangan politik. Meskipun independensi memiliki batas akuntabilitas, tetapi kewenangan persetujuan Menteri Keuangan pada ketentuan a quo tidak memiliki dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing).
Dari sisi kebutuhan dan keseimbangan, ketentuan yang sangat intervensionis pada perencanaan kerja dan keuangan untuk kegiatan operasional LPS tidak memiliki alasan yang kuat, menimbang desain kelembagaan LPS yang dipimpin secara kolektif kolegial oleh seluruh anggota Dewan Komisioner, di mana seluruh keputusan LPS harus 33/48 diambil melalui proses musyawarah untuk mufakat (vide Pasal 7 angka 46 UU No. 4/2023 yang mengubah Pasal 72 ayat (1) UU No. 24/2004).
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 57 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 86 ayat (4) sepanjang frasa “untuk mendapat persetujuan”, Pasal 86 ayat (6), dan Pasal 86 ayat (7) huruf a sepanjang frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” pada UU 24/2004 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 6 dan Pasal 276 angka 13 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.