JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah mahasiswa dari BEM UIN Maulana Malik Ibrahim Malang serta mahasiswa magang dari UIN Alaudin Makassar, Bina Nusantara, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Padjajaran, dan Universitas Terbuka hadir di Ruang Delegasi MK pada Senin (7/10/2024). Dalam kunjungan ini, Asisten Ahli Hakim Konstitusi M. Mahrus Ali dengan didampingi oleh Pustakawan MK Hanindyo bersama para mahasiswa mendiskusikan seputar MK dan penanganan perkara pilkada di MK.
Sebagai lembaga peradilan konstitusi, Ali mengatakan semakin banyak undang-undang yang diujikan di MK mengindikasikan semakin bermasalah sebuah undang-undang tersebut. Sederhananya, semakin besar ketentuan norma yang ada pada undang-undang tersebut dinilai merugikan warga negara. Diakui oleh Mahrus Ali bahwa hampir seluruh undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang pernah di ujikan ke MK. Norma yang diujikan tersebut sangat beragam, tak hanya menyangkut isu hukum tetapi lintas ilmu. Sebagai sebuah produk politik, undang-undang yang dibuat dapat saja memuat berbagai kepentingan dan sangat mungkin bertentangan dengan hak konstitusional warga negara. Dengan adanya MK, sambung Ali, substansinya baik secara materiil dan formil dapat diuji sehingga sedapat mungkin memenuhi hak konstitusional warga negara.
“Bagi para mahasiswa, utamanya yang ada pada hari ini dapat saja kemudian hari menjadi agen perubahan melalui pengujian undang-undang yang dimohonkan ke MK. Dengan catatan memperhatikan, kerugian konstitusionalnya sebagai mahasiswa yang dinilai dirugikan ata skeberlakuan suatu norma undang-undang,” jelas Ali.
Kemudian beranjak pada bahasan tentang penanganan perkara pilkada di MK. Ali mengungkapkan bahwa setiap persoalan atau masalah yang muncul pada pelaksanaan pilkada, telah terdapat badan-badan atau lembaga yang menangani perkara-perkara sebagaimana mestinya. Misalnya saja terdapat Gakumdu, DKPP, dan MK hanyalah muara akhir dari perselisihan hasil perolehan suara dalam pelaksanaan pemilihan. Sehingga, penting dipahami masyarakat untuk menempatlkan pemahaman tersebut agar mendapatkan penanganan persoalan dengan baik dan tepat sasaran.
Implementasi Putusan
Selanjutnya dalam sesi tanya-jawab dengan peserta kunjungan, Nauval dari Universitas Muhammadiyah Malang mempertanyakan bagaimana MK memastikan putusannya tak hanya bersifat normatif? Terhadap pertanyaan ini, Ali memberikan sebuah ilustrasi dari beberapa putusan MK menyoal keberadaan penggunaan hak pilih bagi warga negara. Dalam sebuah putusan, MK pernah memastikan sepanjang punya identitas baik berupa e-KTP, surat keterangan mengurus KTP, tetap dapat menggunakan hak pilih dan bahkan saat daftar namanya tak terdapat pada DPT.
“Itulah cara MK memastikan hak konstitusional warga terkait hak pilihnya benar-benar dapat diperoleh dengan baik meski tak terdaftar di DPT. Selain itu, MK juga pernah menyatakan bagi nara pidana yang telah menjalani pidana 5 tahun, maka saat kembali ke masyarakat dan mengumumkan secara terbuka atas hal tersebut, maka hak pilihnya akan pulih kembali,” jelas Ali.
Kemudian sebuah pertanyaan dari Nurhidayati, mahasiswa dari UIN Alaudin Makassar menanyakan terkait kebijakan hukum terbuka bagi DPR apabila konstitusi tidak memberikan batasan yang jelas. Lalu, bagaimana putusan MK mengandung nilai-nilai keadilan atas adanya hal demikian? Ali menjawab bahwa MK pada intinya menyatakan terserah pada DPR. Namun MK dalam hal ini melalui putusan bersyarat tersebut sejatinya memberikan rambu-rambu, sehingga dapat diadopsi oleh DPR. Sebab muara dari putusan besar MK yakni mempermudah DPR dalam menyusun norma agar diperbaiki mulai dari proses, isi, dan lainnya yang mengarah pada perbaikan guna menyelaraskan dengan kebutuhan pemenuhan hak konstitusional warga negara. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.