JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945. Sidang perdana ini dilaksanakan pada Kamis (3/10/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan Perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 ini diajukan Syukur Destieli Gulo, seorang Konsultan Hukum.
Pasal 188 UU 1/2015 menyatakan, “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani, Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menjelaskan bahwa Pasal 71 UU 10/2016 dan Pasal 188 UU 1/2015 adalah norma hukum yang saling berkaitan. Pasal 71 UU 10/2016 berfungsi sebagai norma hukum primer yang berisi larangan. Sementara Pasal 188 UU 1/2015 berperan sebagai norma hukum sekunder yang mengatur sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 71. Pasal 71 UU 10/2016 melarang pejabat negara, pejabat daerah, anggota TNI/POLRI, serta kepala desa melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam pemilihan. Namun, Pasal 188 UU 1/2015 tidak mencantumkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/POLRI," sehingga mereka tidak dapat dijatuhi sanksi pidana meskipun melanggar Pasal 71.
Pemohon berpendapat bahwa ketiadaan frasa tersebut dalam Pasal 188 UU 1/2015 dapat melemahkan netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, karena pelanggaran mereka tidak dapat diproses secara hukum. Menurut Pemohon, ketidaksesuaian ini merugikan hak konstitusionalnya sebagai pemilih, karena pelanggaran terhadap netralitas pejabat tersebut mengganggu prinsip pemilihan yang bebas, rahasia, jujur, dan adil. "Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," jelasnya.
Syukur Destieli Gulo juga mencatat bahwa tahapan kampanye sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 telah dimulai sejak Rabu, 25 September 2024 hingga Sabtu, 23 November 2024, dan ketentuan tersebut wajib dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pejabat yang diatur dalam Pasal 71 UU 10/2016. Oleh karena itu, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 188 UU 1/2015 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak diartikan mencakup "pejabat daerah" dan "anggota TNI/POLRI."
Pemohon meminta agar frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/POLRI" dimasukkan dalam Pasal 188, sehingga pasal tersebut berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon untuk memperbaiki struktur permohonan agar disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Selain itu, Arief juga meminta Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami.
“Anda dirugikan kenapa, dan kerugian itu kenapa, disebabkan oleh apa, bersifat potensial atau apa. Itu ada dasarnya, coba nanti dilihat di putusan MK,” terang Arief menasihati.
Sebelum menutup persidangan Majelis Hakim Panel memberikan kesempatan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima oleh MK pada Rabu 16 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.