JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Pemohon I), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Pemohon II), dan Indonesia Corruption Watch (Pemohon III) pada Kamis (3/10/2024). Sidang uji materiil Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Shaleh Al Ghifari sebagai kuasa hukum menyampaikan pokok-pokok perbaikan yang telah dilakukan pihaknya, di antaranya penguatan elaborasi terkait legal standing sebagaimana termaktub pada PMK Nomor 6 Tahun 2005 dan PMK Nomor 2 Tahun 2021 Pasal 4 ayat (2); pasal-pasal yang mengutip tentang keberadaan badan hukum yang menaungi para Pemohon; alasan permohonan dengan memperkuat argumentasi doktrinal dan putusan terdahulu yang dapat dirujuk guna mendukung dalil permohonan ini.
“Kemudian para Pemohon memperjelas relevansi pokok permohonan dengan praktik di negara lain; elaborasi pembentukan KASN sebagai pokok permohonan; menilai kekuatan dan kelemahan KASN ddibanding perubahannya menuju BKN dan PANRB; serta dampak implikasi keberlakuan norma atau dihilangkannya kepastian hukum tentang keberadaan KASN,” sebut Shaleh dalam sidang Perkara Nomor 121/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada Sidang Pendahuluan, Kamis (19/9/2024) lalu para Pemohon menyatakan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Bahwa Pemohon I menilai dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas, dan kode etik serta kode perilaku ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab hal demikian telah pula menghilangkan pengawasan independen atas netralitas penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024.
Pemohon I, sambung Shaleh, melihat urgensi ini karena berdampak pada lemahnya sistem birokrasi yang profesional, berintegritas, dan memegang prinsip meritokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang baik, profesional, terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh sebab itu, Pemohon I yang merupakan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap demokrasi dan reformasi birokrasi dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia, termasuk untuk menghasilkan pemilihan umum yang bersih dan adil, jelas memiliki kepentingan langsung dengan keberadaan pasal-pasal yang Pemohon I dimohonkan untuk diuji ini.
Sementara bagi Pemohon II yang keberadaannya bertujuan memberikan kontribusi optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah, kalangan dunia usaha, pemerintah pusat, dan masyarakat luas yang membutuhkan berpendapat asal-pasal a quo berpotensi berdampak pada terganggunya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah yang bebas dan adil. Sebab dengan tidak terdapat sistem pengawasan yang independen, ASN dapat dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan partisan pemilihan umum. Oleh sebab itu, tindakan pelanggaran atas hal-hal demikian haruslah segera dicegah, ditanggulangi, dan ditindak dengan bijak.
Sedangkan bagi Pemohon III berpandangan dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas serta kode etik dan kode perilaku ASN dan dihilangkannya pengawasan independen atas netralitas ASN, akan berdampak pada dilanggengkannya praktik mobilisasi partisan ASN. Tujuannya tak lain untuk kepentingan politis yang berujung pada rekrutmen dan promosi ataupun demosi yang politically-motivated. Sehingga hal tersebut jauh dari prinsip meritokrasi dan good governance, yang berkaitan langsung dengan tujuan dibentuknya organisasi Pemohon III dan kerja-kerja pokok organisasi dari Pemohon III.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina