JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), pada Rabu (2/10/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Sementara Perkara 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta Titi Anggraini (Pemohon II).
Semula, agenda persidangan kali ini adalah mendengar keterangan DPR, Pemerintah dan Partai Politik Peserta Pemilu. Akan tetapi, DPR dan Pemerintah meminta penundaan persidangan.
Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan menyampaikan DPR dan Pemerintah meminta persidangan ditunda setelah adanya pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan dua partai yakni Gerindra dan PKB menyesuaikan yang telah diagendakan oleh MK.
“Oleh karena itu, MK mengagendakan penundaan persidangan pada Rabu, 23 Oktober 2024 pukul 10.30 wib dengan mendengar agenda keterangan DPR, Presiden dan lima partai politik yang sudah dipanggil sebenarnya untuk hari ini,” terang Suhartoyo dalam persidangan.
Menanggapi pernyataan Ketua MK Suhartoyo tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Purwoko menyampaikan bahwa pihaknya masih membutuhkan waktu untuk koordinasi dan finalisasi keterangan. “Kita masih membutuhkan waktu untuk melakukan koordinasi dan ada finalisasi dari keterangan Presiden untuk keterangan yang disusun,” ujar Purwoko.
Baca juga:
Jelang Pilkada Serentak 2024, Ketentuan Persyaratan Calon Kepala Daerah Diuji
Pemohon Ajukan Provisi Mohon Perkara Diputus Sebelum Pencalonan Kepala Daerah
Syarat Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah Kembali Dipersoalkan
Sebelumnya, Pemohon perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menyatakan Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu, terkait keberadaan presidential threshold (PT) yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu. Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon sehingga hak para Pemohon untuk memilih Presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.
Sementara Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Mereka juga menjadi penggiat pemilu menganggap pengaturan ambang batas menjadikan hak mengusung calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diakses para elit pemilu yang memiliki persentase tinggi pada pemilu sebelumnya dan menutup akses bagi partai politik peserta pemilu dengan persentase rendah yang tidak ingin berkoalisi.
Kemudian, Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta perorangan Titi Anggraini (Pemohon II). Menurut para Pemohon, terdapat inkonsistensi antara tujuan pemberlakuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dengan fakta empirik di lapangan serta adanya dampak destruktif terhadap sistem presidensial yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu dimaknai menjadi, “Pasangan Calon diusulkan oleh: a. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau c. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR.” Atau para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik peserta pemilu memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan c. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina